#Post Title #Post Title #Post Title

Pendidikan Yang Holistik

PC Siswantoko
Peserta Program Pascasarjana Academia Alfonsiana,
Pontificia Universita Lateranense, Roma
Selasa, 23 Mei 2006
Diunduh dari : http://www.semipalar.net/artikel/artikel33.html pada 31 Mei 2009 : 3 : 25 WIB
sumber : www.gatago.com

Standar ujian nasional sedang menjadi topik diskusi hangat antara pemerintah dan DPR. Bahkan Komisi X DPR mendesak pemerintah merevisi PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pertentangan antarpasal yang tidak sesuai dengan sistem pendidikan nasional serta adanya kesenjangan mutu pendidikan antardaerah adalah dua alasan mendasar di
balik desakan revisi itu (Kompas Online, 11/5/2006). Perdebatan itu menambah panjang deret ketidakstabilan sistem pendidikan nasional.

Paradigma pendidikan
Meski pemerintah harus bertanggung jawab atas mutu pendidikan nasional, pihak yang paling tahu tentang mutu dan kemampuan anak didik adalah pendidik. Dengan demikian, tugas dan hak pendidiklah untuk memberi penilaian. Penetapan standar nasional untuk kelulusan mengandaikan mutu pendidikan di tiap daerah sama. Kenyataannya, masih ada jurang perbedaan antara proses pendidikan di kota dan desa, bahkan antarprovinsi dan pulau.

Penetapan batas minimal kelulusan 4,5 memberi gambaran, pemerintah memandang proses pendidikan hanya sebagai transfer ilmu pengetahuan yang bisa mudah diukur dengan angka. Penetapan itu mereduksi makna pendidikan sebagai sebuah proses pematangan pribadi mencakup pengembangan, kognisi, afeksi, mental, dan kepribadian.

John Dewey dalam buku Education and Democracy (1916) telah mendengungkan konsep pendidikan integral berdasarkan pada kemampuan, kebutuhan, dan pengalaman peserta didik. Pendidikan yang berbasis realitas dan pengalaman anak didik sebenarnya bentuk perlawanan dan kritik pada pola-pola pendidikan tradisional yang hanya memindahkan ilmu pengetahuan masa lampau kepada tiap generasi baru.

Pendidikan tidak dimaksud sekadar mencetak orang yang pandai menghafal dan berhitung, tetapi melahirkan orang-orang berpribadi matang. Pendidikan tidak hanya tempat mengasah ketajaman otak, tetapi tempat menyemai nilai-nilai dasar kehidupan guna menggapai masa depan dan hidup bermasyarakat. Bangsa Indonesia amat membutuhkan sistem pendidikan seperti itu, terutama untuk melahirkan generasi muda yang tangguh dan bertanggung jawab, dan mampu memperbaiki kehidupan bangsa
ini.

Maka, kengototan pemerintah untuk tetap melangsungkan ujian dengan standar nasional, hanya karena ingin mendorong peserta didik bekerja keras, tidak akan memberi dampak positif berkelanjutan bagi kematangan dan kemandirian peserta didik. Bahkan standar itu tidak representatif sebagai titik acuan untuk mengetahui kualitas pendidikan bangsa ini.
Sementara revisi pasal-pasal PP No 19/2005, sebagaimana didesakkan DPR, tidak akan berarti bila tidak ada pembaruan dan rekonstruksi terhadap paradigma pendidikan.

Tugas pemerintah
Dalam konteks pendidikan holistik, pemerintah tidak perlu mengambil alih peran pendidik dengan menetapkan standar pendidikan sebab pemerintah tidak berhubungan langsung dengan peserta didik. Tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi dan sistem pendidikan yang efektif, integral, dan mengembangkan pendidik maupun peserta didik.

Pertama, pemerataan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Di banyak daerah sarana dan prasarana pendidikan amat memprihatinkan. Kurangnya tenaga pengajar di pedalaman, banyak gedung sekolah tak layak pakai, dan penggemblengan mental pengabdian pendidik, merupakan pekerjaan besar yang harus diprioritaskan dan dituntaskan pemerintah.
Amat tidak masuk akal bila pemerintah tiba-tiba menetapkan standar kelulusan secara nasional, sementara pembangunan dan pemajuan pendidikan masih amat parsial.

Kedua, perubahan sistem pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi. Perubahan ini amat memungkinkan pihak sekolah untuk bereksplorasi, baik dalam program maupun kurikulum yang benar-benar kontekstual, yaitu berdasarkan pada kebutuhan anak didik dan menyatu dengan budaya dan karakter setempat. Jadi standar penilaian terletak pada tingkat penambahan pengetahuan serta pengembangan kepribadian, seperti menghargai orang lain, menghormati perbedaan, kedisiplinan, serta bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.

Ketiga, proses pendidikan yang holistik juga menuntut adanya budaya belajar di kalangan masyarakat. Dengan demikian, proses pendidikan tidak dapat dikotakkan dalam pendidikan formal belaka, tetapi perlu dibuat sistem pendidikan berkesinambungan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ritme kehidupan masyarakat sebab masyarakat menentukan proses pendidikan melalui nilai- nilai dan strukturnya. Sebaliknya pendidikan menyumbangkan nilai-nilai untuk perubahan masyarakat. Membangun budaya membaca di masyarakat bisa dijadikan titik berangkat untuk membangun budaya belajar ini.

Berkembang tidaknya sistem pendidikan bangsa, tidak terletak pada standar ujian nasional diberlakukan atau jadi tidaknya PP No 19/2005 direvisi, tetapi pada lahir tidaknya sistem pendidikan baru yang mengembangkan nilai- nilai hakiki kemanusiaan. Selama proses pendidikan tetap bermodel pengajaran, transfer ilmu, dunia pendidikan hanya melahirkan orang-orang pintar tetapi belum tentu benar, ahli tetapi belum tentu rendah hati, cerdas tetapi belum tentu bijaksana.
[ Read More ]

Dari Buta Huruf Sampai "Cilukba"

Saat sosialisasi program pemberantasan buta aksara (17/12/2005) di Solo, Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan bahwa persentase penyandang buta aksara di Indonesia sekitar 14,8 juta orang.

AGUS M. IRKHAM
Editor Lepas, Eksponen Komunitas Pasar Buku
Kompas, 17 Februari 2006
Diunduh dari http://www.semipalar.net/artikel/artikel31.html pada 31 Mei 2009 : 3 : 32 WIB

Jika pernyataan Mendiknas -- sementara versi LIPI, 6,7 persen dari 220 juta jiwa total jumlah penduduk Indonesia -- bisa kita pegang, berarti pemerintah telah sukses mengentaskan penduduk buta huruf sekitar 10 persen (jumlah buta aksara di Indonesia tahun 1996 sekitar 16 persen). Dengan kata lain, jumlah penduduk yang telah melek huruf hingga akhir tahun 2004 sebesar 93,3 persen. Sunguh istimewa. Karena rata-rata di negara berkembang, hanya sekitar 69 persen.

Baik. Katakanlah kita percaya dengan data yang diberikan Mendiknas: ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang melek huruf. Akan tetapi, mengapa persentase akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen? Tahun 1999 saja, rasio jumlah penduduk dengan surat kabar di Indonesia hanya 1 : 43 alias satu surat kabar dibaca oleh 43 orang. Bandingkan dengan Malaysia (1 : 8,1), Jepang (1 :1,74), serta India (1: 38,14).

Jumlah buiku baru yang diterbitkan pun hanya 0,0009 persen dari total penduduk. Artinya, sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang 55 per satu juta penduduk. Negara maju memiliki 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae, 1997;187). Rupa-rupanya melek huruf yang tinggi tidak selalu diikuti dengan bertambahnya jumlah buku dan media teks lainnya sebagai ukuran sahih melek budaya.

Buta huruf-budaya
Satu-satunya spasi interpretasi atas kontradiksi data tersebut adalah: besarnya angka buta huruf secara budaya. Bisa membaca, tapi jarang, bahkan tidak pernah mempraktikkan kemampuan membacanya. Salah satu sebab bisa karena bahan bacaan yang langka, susah mengakses bahan bacaan, atau karena sebagian besar waktunya digunakan untuk pekerjaan teknis yang melelahkan.

Secara personal, untuk mengetahui apakah secara budaya kita tergolong sudah melek huruf atau sebaliknya adalah dengan cara menanyakan: apakah secara rutin menulis surat pribadi (surat pembaca ke media, surat untuk teman, keluarga, dan kerabat dekat, atau menulis di buku harian)?

Lalu, apakah setiap bulannya menganggarkan sekian persen dari gaji untuk membeli buku? Apakah sudah menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan? Apakah kebutuhan untuk mendengar dan berbicara tidak selalu lebih besar daripada kebutuhan untuk membaca dan menulis? Jika jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut adalah "tidak!", maka sejatinya kita masih tergolong buta huruf secara budaya.

Akibat yang paling tampak dari buta huruf secara budaya adalah bertumbuhnya masyarakat cilukba. Istilah ini merujuk pada permainan atau simulasi ekspresi yang begitu cepat (tutup-buka muka). Pertumbuhan masyarakat semacam ini kian cepat, seiring kehadiran "guru” paling berpengaruh di abad ini: televisi! Televisi sebagai sisa-sisa ledakan besar (big bang) elektronik, terhitung telah sukses mengajari penontonnya beradab cilukba.

Dunia tanpa Koherensi
Televisi menyajikan peristiwa "ini" sekarang, lantas peristiwa "itu” kemudian, meloncat ke hadapan kita sekejap, lalu menghilang lagi. Menurut Neil Postman, guru besar ilmu komunikasi dari Universitas New York, inilah yang disebut dunia di mana tidak ada koherensi maupun penjelasan yang masuk akal. Sepenuhnya berdiri sendiri. Seperti halnya cilukba, permainan untuk bersenang, televisi juga berbicara dalam satu bahasa: kesenangan (hiburan).

Pagi menyajikan berita aksi teror bom bunuh diri, yang membuat tegang, panas-dingin penonton. Malam tetap membuat penonton tegang, panas-dingin, karena sajian (musik) dangdut! Siang melarutkan penonton dalam kesedihan dengan liputan bencana tsunami di Aceh. Malam memicu adrenalin penonton dengan siaran langsung F1 (Formula Satu).

Di dalam televisi, simulasi cilukba tersebut terus berlangsung. Bahkan, kecepatannya melampaui kecepatan empati penontonnya. Akibatnya buat mereka, dangdut, F1, bencana tsunami, aksi teror bom, bermakna sama. yaitu hiburan.

Mereka mengadopsi pola cilukba televisi ke dalam keseharian-masyarakat tontonan. Budaya, komentar (lisan) jadi dominan.

Apa pun dikomentari, dari soal gosip perselingkuhan artis hingga soal rencana kenaikan gaji pegawai negeri. Gemar ngomel, tentang segala macam persoalan : mulai dari terorisme, korupsi, BBM, sinetron misteri, kuis SMS. Semua sebagai ajang katarsis (hiburan). Sekadar tahu (fakta). Tanpa bermaksud mengetahui lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di balik persoalan tersebut (realita).

Masyarakat cilukba adalah masyarakat hangat-hangat tahi ayam (baca juga tulisan Jacob Sumardjo : smipa) . Gampang heboh, latah, emosinya gampang tersulut, tetapi juga gampang lupa. Kemarin ramai bicara harga BBM, sekarang sibuk berbicara soal impor beras, besok soal reshuffle kabinet, lusa entah larut tentang apa lagi. Ketika ditanya apa makna dari itu semua, jawabannya jana satu: lupa tuh!
[ Read More ]

Menuju situasi sadar budaya

Antara "Yang Lain" dan Kearifan Lokal

Diunduh dari : http://www.semipalar.net/artikel/artikel34.html pada 31 Mei 2009 : 3:17 WIB
Pakembinangun, 24 Februari 2005
Prof. Dr. H. Suminto A. Sayuti,
Dekan / Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Pendahuluan
Di antara fenomena atau wujud kebudayaan, yang merupakan bagian inti kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan yang tidak henti-hentinya, terutama di tengah masyarakat yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah itu bahkan menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan dan dimasukkan dalam perspektif pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, tidak terkecuali bagi kita, sebagai masyarakat postkolonial.

Dalam perspektif historis, kita sebagai bangsa telah mengalami berbagai dan berulang kali proses akulturasi, yakni tatkala kita bersemuka dengan kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia, dengan "yang lain", di antaranya: India dengan agama Hindu dan Budhanya, kebudayaan yang menyertai agama Islam, dan kebudayaan Eropa berikut konsep modernisasinya. Dalam sejumlah tulisannya, Umar Kayam telah berkali-kali mengingatkan hal itu.
Akulturasi besar yang terjadi pada masa lampau membuktikan bahwa kita sebagai bangsa mampu menyaring dan menyesuaikan unsur asing itu ke dalam tata kehidupan dengan cara sedemikian rupa, sehingga terasa layak dan cocok serta tak terpaksaan. Kini, kita pun masih berada dalam proses tegursapa dengan "yang lain" itu, terutama dengan budaya Barat, yang dalam kenyataannya telah terlebih dahulu mendunia. Akulturasi ini telah seiring dengan upaya-upaya "pembangunan "di segala bidang.


Pembangunan sebagai Proses
Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat, tidak dapat dipungkiri telah membawa kita pada kemajuan iptek, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian (kecil) dari keseluruhan kehidupan bangsa kita, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara si kaya dan si miskin, antara kecanggihan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, penyimakan yang cermat dan saksama terhadap masalah-masalah budaya yang muncul mengiringinya merupakan suatu hal yang sama sekali tak boleh diabaikan.

Dalam hubungan itu, salah satu butir yang direkomendasi oleh World Conference on Cultural Policies (1982) akan menemukan relevansinya: 'kebudayaan merupakan bagian yang fundamental dari setiap orang serta masyarakat, dan karena itu pembangunan yang tujuan akhirnya diarahkan bagi kepentingan manusia harus memiliki dimensi kebudayaan'.

Harkat dan martabat suatu bangsa, di samping hal-hal lain, juga ditentukan oleh tingkat kebudayaannya. Demikian pula, keunggulan budaya suatu bangsa, begitu bergantung pada daya dukung masyarakatnya sebagai pewaris sekaligus sebagai agen kultural yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat tersebut. Dalam konteks semacam inilah situasi "sadar budaya," yakni, di satu sisi, kesadaran terhadap keserbanekaan bahwa kita sebagai bangsa tidak pernah selalu bersifat singular, tetapi plural; sementara pada sisi lain, kita pun tidak bisa mengisolasi diri untuk tidak bergaul dengan bangsa-bangsa lain berikut budayanya, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk diaktualisasikan lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya lewat "pendidikan" (baca: pembudayaan) apa pun bentuk pendidikan itu: formal-informal.

Sadar Budaya
Apabila situasi sadar budaya tersebut diupayakan lewat pendidikan, penyelenggaraan pendidikan harus memberikan ruang dan peluang bagi subjek-subjek yang terlibat di dalamnya masuk dalam dan terlibat pada proses tertentu yang sifatnya dinamik. Artinya, hal itu menjadi sebuah proses yang memungkinkan adanya perubahan manusia

Indonesia memasuki situasi sadar budaya sebagaimana diidealisasikan. Persoalannya, nilai-nilai budaya yang manakah yang perlu menjadi perhatian utama dalam upaya menuju situasi sadar budaya itu. Dalam konteks kependidikan, nilai-nilai tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan.

Dalarn kaitan tersebut paling tidak terdapat dua macam pandangan. Pertama, adanya pemikiran yang mempertimbangkan kehidupan manusia yang makin mengglobal. Untuk itu, diharapkan akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, transnasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama (mainstream) kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana.

Kedua, adanya pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi wilayah-wilayah kehidupan yang tidak berada di jalur utama. Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya dikhawatirkan akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan jati diri bangsa, yang ditandai oleh kebudayaannya, akhirnya menjadi isu kemanusiaan yang bersifat sentral.

Sebagai bangsa yang bhineka, kita memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistern budaya nasional Indonesia dan sistern budaya etnik lokal. Sistern budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses pembentukannya (Sedyawati, 1993/1994). Sistern ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang mana pun. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional itu bersifat menyongsong masa depan, misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan kepada yang selain itu; pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan yang tinggi atas kreativitas dan inovasi, efisiensi tindakan dan waktu; penghargaan terhadap sesama atas dasar prestasinya lebih daripada atas dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan rakyat; serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.

Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistern budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Hal tersebut akan menjadi lebih jelas tatkala kita menyadari bahwa budaya posf-kolonial, seperti kita arungi dalam waktu yang cukup lama sebagai bangsa terjajah di masa lalu, pada dasarnya merupakan persilangan dialektik antara ontologi/epestirnologi yang "lain" dan dorongan untuk mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang independen, yang digali dari sumur-sumurkearifan lokal pula.

Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhimya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara. Jadi, ujung akhir situasi sadar budaya yang ingin dicapai bukanlah situasi, seperti kata Fromm (1966), necrophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang bendawi/wujudiah yang tidak berjiwa kehidupan, melainkan situasi biophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang maknawiah yang berjiwa kehidupan.

Dengan demikian, pendidikan sebagai proses menuju hai itu dapat berfungsi sebagai subversive-force, yang mengubah dan memperbaharui keadaan, sekaligus menyadarkan dan membebaskan manusia.

Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal lewat dan dalam pendidikan budaya seperti digambarkan di atas, keniscayaan manusia didik terperangkap dalam situasi disinherited-masses, yakni manusia yang terasing dari realitas dirinya yang "menjadi ada" dalam pengertian "menjadi seperti (orang lain) dan bukannya dirinya sendiri" dapat dihindari. Jadi, muatan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi atau penjinakan sosial budaya.

Budaya barat yang sudah maju secara ekonomis dan teknologis secara tak terhindarkan telah melanda kita dengan begitu kuat sehingga kita merasa kehilangan (sebagian) identitas tradisional bangsa. Munculnya keinginan untuk membangun kembali identitas bangsa, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya "lain". Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi itu merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat.

Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren lewat pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan, sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya "yang lain". Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pernbentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada, seperti sudah disinggung di atas, munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif.

Membangun Kebudayaan Bangsa
Kebutuhan untuk membangun kebudayaan bangsa, bagi kita, sesungguhnya dimulai semenjak kita berhasil mendirikan satu negara-bangsa. Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.

Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Koreografi, musik, dan sastra yang menempatkan nilai-nilai lokalnya sebagai sumber inspirasi kreatif, bagi daerah yang bersangkutan akan mendorong rasa kebanggaan akan budayanya dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam menyumbang pembangunan budaya bangsa. Karya-karya seni budaya, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana keindonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan

Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan cara demikian, situasi sadar budaya dapat ditumbuhkan. Dengan cara demikian pula, kesadaran masyarakat terhadap sejarah pembentukan bangsa dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah masa kini dan disini,juga dapat dihindari. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal pun dapat dijadikan semacam simpai perekat dan pemersatu antar generasi.

Penutup
Akhirnya, jika nilai-nilai budaya tersebut berhasil ditanamkan lewat pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia: manusia yang sadar budaya. Artinya, memiliki nilai-nilai budaya nasional yang transetnik dan bersifat menyongsong masa depan, serta mampu pula menghayati kearifan-kearifan lokalnya. Dengan jatidiri yang kuat, kita tidak akan jatuh dalam posisi epigonis bangsa lain atau terhindar dari posisi yang subordinatif. Paling tidak, demikian itu yang menjadi idealisasinya. Dengan cara demikian, semoga saja, kebudayaan benar-benar memberikan dan menjadi roh "pembangunan" yang sedang kita "rencanakan kembali" untuk dilaksanakan menuju masyarakat Indonesia Baru. Dari Yogyakarta kita bisa memulainya secara lebih baik dan arif.
[ Read More ]

Nggak mau kesekolah........??????

KabarIndonesia - “Ma….Rico nggak masuk sekolah ya….Rico pusing,” kata Rico pada Mamanya saat beberapa menit hendak berangkat sekolah. Keluhan ini muncul sudah beberapa kali dan selalu mendekati waktu akan berangkat sekolah. Rico adalah siswa kelas 6 Sekolah Dasar di sebuah sekolah favorit di Yogyakarta. Sudah hamper dua bulan Rico berperilaku seperti itu, menolak untuk berangkat ataupun masuk sekolah. Kalaupun sudah sampai sekolah, Rico ingin pulang ke rumah. 

Penolakan untuk ke sekolah adalah sebuah wacana pendidikan yang memang ada dan harus menjadi perhatian bersama. Anak-anak yang menolak untuk masuk sekolah kadangkala oleh orang dewasa diasumsikan bahwa dia anak malas dan hanya ingin membolos. Tetapi penolakan anak merupakan salah satu sinyal penting bagi kita. Menolak sekolah atau disebut juga school refusal adalah permasalahan yang memberikan tekanan yang besar terhadap anak, orang tua, dan staf sekolah. Kegagalan hadir untuk sekolah memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang yang signifikan terhadap perkembangan sosial, emosional, dan perkembangan pendidikan pada anak. Misalnya, prestasi anak menjadi merosot dan mengalami kegagalan pada berbagai mata pelajaran sehingga dapat mengancam keberlangsungan anak untuk bersekolah. 

Meskipun munculnya kesulitan secara emosional untuk hadir ke sekolah menjadi label yang biasa muncul bagi school refusal, digambarkan anak juga menunjukkan gangguan emosional yang signifikan mempengaruhi kehadirannya, misalnya dengan ketakutan yang besar, tantrum atau rewel, atau mengeluh mengenai perasaan yang tidak enak. Selama jam sekolah anak memilih berada di rumah dengan diketahui oleh orang tua atas ketidakhadiran mereka. Kebanyakan anak-anak yang mengalami school refusal tingkat kecerdasannya berada di atas rata-rata, yang menunjukkan bahwa tidak mengalami masalah akademik jika tidak muncul masalah tersebut. Ketakutan berada di sekolah mungkin berkaitan dengan pengalaman anak ketika pertama kali meninggalkan rumah, terlibat dengan dengan anak lain yang tidak dikenal, mengalami ancaman terhadap kegagalan. 

Beberapa anak merasa takut ke sekolah karena mereka takut menjadi bahan tertawaan, ejekan, atau bullying dari anak yang lainnya, atau mendapat kritikan atau pendisiplinan dari guru. Disfungsi dalam keluarga juga dapat menjadi penyebab munculnya masalah ini. Misalnya adalah adanya ketergantungan yang tinggal pada anak, adanya kedekatan yang sedikit dalam keluarga, atau keluarga yang terisolasi dari kehidupan orang lain atau tingginya konflik dalam keluarga. Sehingga, dampak dari semua peristiwa yang tidak mengenakan bagi anak pada akhirnya memunculkan perilaku menolak sekolah yang memberikan dampak baik jangka pendek maupun panjang dalam dunia akademik si anak. School refusal menunjukkan ketidakhadiran anak yang hampir sama dengan membolos, tetapi terdapat perbedaan kriteria yaitu:

School Refusal kriterianya;
- Adanya beberapa tekanan emosional berkaitan dengan kehadiran ke sekolah; meliputi kecemasan, temper tantrum, depresi, atau gejala somatik.
- Orang menyadari adanya ketidakhadiran ke sekolah; anak biasanya mencoba untuk membujuk orang tua untuk menemani mereka di rumah dan orang tahu mengenai ketidakhadiran anak
- Tidak terlibat dalam perilaku anti sosial yang signifikan seperti kenakalan.
- Selama waktu sekolah, anak biasanya tinggal di rumah karena merasa lingkungan rumah lebih aman dan nyaman.
- Anak memiliki keinginan untuk menyelesaikan tugas sekolah dan melengkapi pekerjaan sekolah di rumah. 

Membolos kriterianya;
- Kecemasan yang tidak berlebihan atau ketakutan yang tidak berlebihan terhadap kehadiran ke sekolah.
- Anak biasanya menyembunyikan ketidakhadiran dari orang tuanya.
- Sering melakukan perilaku anti sosial meliputi kenakalan dan aktivitas merusak (mencuri, berbohong. Biasanya masuk dalam kelompok yang anti sosial).
- Selama jam sekolah, anak lebih sering tidak berada di rumah.
- Kurangnya ketertarikan terhadap pekerjaan rumah dan ketidakinginan untuk terlibat dalam bidang akademik dan perilaku yang diharapkan.

Penolakan anak untuk sekolah merupakan masalah yang perlu digali lebih dalam sehingga dapat ditemukan penyebab dan dapat dilakukan penanganan yang tepat. Sehingga, anak dapat berfungsi secara maksimal dan potensi anak dapat berkembang dengan baik. Ketakutan atau kecemasan anak untuk hadir di sekolah dapat berkurang atau bahkan hilang sehingga ia dapat beraktivitas dengan baik. Mereka tidak lagi mengalami ketinggalan pelajaran dari anak-anak yang lainnya. 
[ Read More ]