Saat sosialisasi program pemberantasan buta aksara (17/12/2005) di Solo, Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan bahwa persentase penyandang buta aksara di Indonesia sekitar 14,8 juta orang.
AGUS M. IRKHAM
Editor Lepas, Eksponen Komunitas Pasar Buku
Kompas, 17 Februari 2006
Diunduh dari http://www.semipalar.net/artikel/artikel31.html pada 31 Mei 2009 : 3 : 32 WIB
Jika pernyataan Mendiknas -- sementara versi LIPI, 6,7 persen dari 220 juta jiwa total jumlah penduduk Indonesia -- bisa kita pegang, berarti pemerintah telah sukses mengentaskan penduduk buta huruf sekitar 10 persen (jumlah buta aksara di Indonesia tahun 1996 sekitar 16 persen). Dengan kata lain, jumlah penduduk yang telah melek huruf hingga akhir tahun 2004 sebesar 93,3 persen. Sunguh istimewa. Karena rata-rata di negara berkembang, hanya sekitar 69 persen.
Baik. Katakanlah kita percaya dengan data yang diberikan Mendiknas: ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang melek huruf. Akan tetapi, mengapa persentase akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen? Tahun 1999 saja, rasio jumlah penduduk dengan surat kabar di Indonesia hanya 1 : 43 alias satu surat kabar dibaca oleh 43 orang. Bandingkan dengan Malaysia (1 : 8,1), Jepang (1 :1,74), serta India (1: 38,14).
Jumlah buiku baru yang diterbitkan pun hanya 0,0009 persen dari total penduduk. Artinya, sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang 55 per satu juta penduduk. Negara maju memiliki 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae, 1997;187). Rupa-rupanya melek huruf yang tinggi tidak selalu diikuti dengan bertambahnya jumlah buku dan media teks lainnya sebagai ukuran sahih melek budaya.
Buta huruf-budaya
Satu-satunya spasi interpretasi atas kontradiksi data tersebut adalah: besarnya angka buta huruf secara budaya. Bisa membaca, tapi jarang, bahkan tidak pernah mempraktikkan kemampuan membacanya. Salah satu sebab bisa karena bahan bacaan yang langka, susah mengakses bahan bacaan, atau karena sebagian besar waktunya digunakan untuk pekerjaan teknis yang melelahkan.
Secara personal, untuk mengetahui apakah secara budaya kita tergolong sudah melek huruf atau sebaliknya adalah dengan cara menanyakan: apakah secara rutin menulis surat pribadi (surat pembaca ke media, surat untuk teman, keluarga, dan kerabat dekat, atau menulis di buku harian)?
Lalu, apakah setiap bulannya menganggarkan sekian persen dari gaji untuk membeli buku? Apakah sudah menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan? Apakah kebutuhan untuk mendengar dan berbicara tidak selalu lebih besar daripada kebutuhan untuk membaca dan menulis? Jika jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut adalah "tidak!", maka sejatinya kita masih tergolong buta huruf secara budaya.
Akibat yang paling tampak dari buta huruf secara budaya adalah bertumbuhnya masyarakat cilukba. Istilah ini merujuk pada permainan atau simulasi ekspresi yang begitu cepat (tutup-buka muka). Pertumbuhan masyarakat semacam ini kian cepat, seiring kehadiran "guru” paling berpengaruh di abad ini: televisi! Televisi sebagai sisa-sisa ledakan besar (big bang) elektronik, terhitung telah sukses mengajari penontonnya beradab cilukba.
Dunia tanpa Koherensi
Televisi menyajikan peristiwa "ini" sekarang, lantas peristiwa "itu” kemudian, meloncat ke hadapan kita sekejap, lalu menghilang lagi. Menurut Neil Postman, guru besar ilmu komunikasi dari Universitas New York, inilah yang disebut dunia di mana tidak ada koherensi maupun penjelasan yang masuk akal. Sepenuhnya berdiri sendiri. Seperti halnya cilukba, permainan untuk bersenang, televisi juga berbicara dalam satu bahasa: kesenangan (hiburan).
Pagi menyajikan berita aksi teror bom bunuh diri, yang membuat tegang, panas-dingin penonton. Malam tetap membuat penonton tegang, panas-dingin, karena sajian (musik) dangdut! Siang melarutkan penonton dalam kesedihan dengan liputan bencana tsunami di Aceh. Malam memicu adrenalin penonton dengan siaran langsung F1 (Formula Satu).
Di dalam televisi, simulasi cilukba tersebut terus berlangsung. Bahkan, kecepatannya melampaui kecepatan empati penontonnya. Akibatnya buat mereka, dangdut, F1, bencana tsunami, aksi teror bom, bermakna sama. yaitu hiburan.
Mereka mengadopsi pola cilukba televisi ke dalam keseharian-masyarakat tontonan. Budaya, komentar (lisan) jadi dominan.
Apa pun dikomentari, dari soal gosip perselingkuhan artis hingga soal rencana kenaikan gaji pegawai negeri. Gemar ngomel, tentang segala macam persoalan : mulai dari terorisme, korupsi, BBM, sinetron misteri, kuis SMS. Semua sebagai ajang katarsis (hiburan). Sekadar tahu (fakta). Tanpa bermaksud mengetahui lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di balik persoalan tersebut (realita).
Masyarakat cilukba adalah masyarakat hangat-hangat tahi ayam (baca juga tulisan Jacob Sumardjo : smipa) . Gampang heboh, latah, emosinya gampang tersulut, tetapi juga gampang lupa. Kemarin ramai bicara harga BBM, sekarang sibuk berbicara soal impor beras, besok soal reshuffle kabinet, lusa entah larut tentang apa lagi. Ketika ditanya apa makna dari itu semua, jawabannya jana satu: lupa tuh!
AGUS M. IRKHAM
Editor Lepas, Eksponen Komunitas Pasar Buku
Kompas, 17 Februari 2006
Diunduh dari http://www.semipalar.net/artikel/artikel31.html pada 31 Mei 2009 : 3 : 32 WIB
Jika pernyataan Mendiknas -- sementara versi LIPI, 6,7 persen dari 220 juta jiwa total jumlah penduduk Indonesia -- bisa kita pegang, berarti pemerintah telah sukses mengentaskan penduduk buta huruf sekitar 10 persen (jumlah buta aksara di Indonesia tahun 1996 sekitar 16 persen). Dengan kata lain, jumlah penduduk yang telah melek huruf hingga akhir tahun 2004 sebesar 93,3 persen. Sunguh istimewa. Karena rata-rata di negara berkembang, hanya sekitar 69 persen.
Baik. Katakanlah kita percaya dengan data yang diberikan Mendiknas: ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang melek huruf. Akan tetapi, mengapa persentase akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen? Tahun 1999 saja, rasio jumlah penduduk dengan surat kabar di Indonesia hanya 1 : 43 alias satu surat kabar dibaca oleh 43 orang. Bandingkan dengan Malaysia (1 : 8,1), Jepang (1 :1,74), serta India (1: 38,14).
Jumlah buiku baru yang diterbitkan pun hanya 0,0009 persen dari total penduduk. Artinya, sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang 55 per satu juta penduduk. Negara maju memiliki 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae, 1997;187). Rupa-rupanya melek huruf yang tinggi tidak selalu diikuti dengan bertambahnya jumlah buku dan media teks lainnya sebagai ukuran sahih melek budaya.
Buta huruf-budaya
Satu-satunya spasi interpretasi atas kontradiksi data tersebut adalah: besarnya angka buta huruf secara budaya. Bisa membaca, tapi jarang, bahkan tidak pernah mempraktikkan kemampuan membacanya. Salah satu sebab bisa karena bahan bacaan yang langka, susah mengakses bahan bacaan, atau karena sebagian besar waktunya digunakan untuk pekerjaan teknis yang melelahkan.
Secara personal, untuk mengetahui apakah secara budaya kita tergolong sudah melek huruf atau sebaliknya adalah dengan cara menanyakan: apakah secara rutin menulis surat pribadi (surat pembaca ke media, surat untuk teman, keluarga, dan kerabat dekat, atau menulis di buku harian)?
Lalu, apakah setiap bulannya menganggarkan sekian persen dari gaji untuk membeli buku? Apakah sudah menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan? Apakah kebutuhan untuk mendengar dan berbicara tidak selalu lebih besar daripada kebutuhan untuk membaca dan menulis? Jika jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut adalah "tidak!", maka sejatinya kita masih tergolong buta huruf secara budaya.
Akibat yang paling tampak dari buta huruf secara budaya adalah bertumbuhnya masyarakat cilukba. Istilah ini merujuk pada permainan atau simulasi ekspresi yang begitu cepat (tutup-buka muka). Pertumbuhan masyarakat semacam ini kian cepat, seiring kehadiran "guru” paling berpengaruh di abad ini: televisi! Televisi sebagai sisa-sisa ledakan besar (big bang) elektronik, terhitung telah sukses mengajari penontonnya beradab cilukba.
Dunia tanpa Koherensi
Televisi menyajikan peristiwa "ini" sekarang, lantas peristiwa "itu” kemudian, meloncat ke hadapan kita sekejap, lalu menghilang lagi. Menurut Neil Postman, guru besar ilmu komunikasi dari Universitas New York, inilah yang disebut dunia di mana tidak ada koherensi maupun penjelasan yang masuk akal. Sepenuhnya berdiri sendiri. Seperti halnya cilukba, permainan untuk bersenang, televisi juga berbicara dalam satu bahasa: kesenangan (hiburan).
Pagi menyajikan berita aksi teror bom bunuh diri, yang membuat tegang, panas-dingin penonton. Malam tetap membuat penonton tegang, panas-dingin, karena sajian (musik) dangdut! Siang melarutkan penonton dalam kesedihan dengan liputan bencana tsunami di Aceh. Malam memicu adrenalin penonton dengan siaran langsung F1 (Formula Satu).
Di dalam televisi, simulasi cilukba tersebut terus berlangsung. Bahkan, kecepatannya melampaui kecepatan empati penontonnya. Akibatnya buat mereka, dangdut, F1, bencana tsunami, aksi teror bom, bermakna sama. yaitu hiburan.
Mereka mengadopsi pola cilukba televisi ke dalam keseharian-masyarakat tontonan. Budaya, komentar (lisan) jadi dominan.
Apa pun dikomentari, dari soal gosip perselingkuhan artis hingga soal rencana kenaikan gaji pegawai negeri. Gemar ngomel, tentang segala macam persoalan : mulai dari terorisme, korupsi, BBM, sinetron misteri, kuis SMS. Semua sebagai ajang katarsis (hiburan). Sekadar tahu (fakta). Tanpa bermaksud mengetahui lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di balik persoalan tersebut (realita).
Masyarakat cilukba adalah masyarakat hangat-hangat tahi ayam (baca juga tulisan Jacob Sumardjo : smipa) . Gampang heboh, latah, emosinya gampang tersulut, tetapi juga gampang lupa. Kemarin ramai bicara harga BBM, sekarang sibuk berbicara soal impor beras, besok soal reshuffle kabinet, lusa entah larut tentang apa lagi. Ketika ditanya apa makna dari itu semua, jawabannya jana satu: lupa tuh!