Antara "Yang Lain" dan Kearifan Lokal
Diunduh dari : http://www.semipalar.net/artikel/artikel34.html pada 31 Mei 2009 : 3:17 WIB
Pakembinangun, 24 Februari 2005
Prof. Dr. H. Suminto A. Sayuti,
Dekan / Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Pendahuluan
Di antara fenomena atau wujud kebudayaan, yang merupakan bagian inti kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan yang tidak henti-hentinya, terutama di tengah masyarakat yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah itu bahkan menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan dan dimasukkan dalam perspektif pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, tidak terkecuali bagi kita, sebagai masyarakat postkolonial.
Dalam perspektif historis, kita sebagai bangsa telah mengalami berbagai dan berulang kali proses akulturasi, yakni tatkala kita bersemuka dengan kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia, dengan "yang lain", di antaranya: India dengan agama Hindu dan Budhanya, kebudayaan yang menyertai agama Islam, dan kebudayaan Eropa berikut konsep modernisasinya. Dalam sejumlah tulisannya, Umar Kayam telah berkali-kali mengingatkan hal itu.
Akulturasi besar yang terjadi pada masa lampau membuktikan bahwa kita sebagai bangsa mampu menyaring dan menyesuaikan unsur asing itu ke dalam tata kehidupan dengan cara sedemikian rupa, sehingga terasa layak dan cocok serta tak terpaksaan. Kini, kita pun masih berada dalam proses tegursapa dengan "yang lain" itu, terutama dengan budaya Barat, yang dalam kenyataannya telah terlebih dahulu mendunia. Akulturasi ini telah seiring dengan upaya-upaya "pembangunan "di segala bidang.
Pembangunan sebagai Proses
Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat, tidak dapat dipungkiri telah membawa kita pada kemajuan iptek, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian (kecil) dari keseluruhan kehidupan bangsa kita, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara si kaya dan si miskin, antara kecanggihan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, penyimakan yang cermat dan saksama terhadap masalah-masalah budaya yang muncul mengiringinya merupakan suatu hal yang sama sekali tak boleh diabaikan.
Dalam hubungan itu, salah satu butir yang direkomendasi oleh World Conference on Cultural Policies (1982) akan menemukan relevansinya: 'kebudayaan merupakan bagian yang fundamental dari setiap orang serta masyarakat, dan karena itu pembangunan yang tujuan akhirnya diarahkan bagi kepentingan manusia harus memiliki dimensi kebudayaan'.
Harkat dan martabat suatu bangsa, di samping hal-hal lain, juga ditentukan oleh tingkat kebudayaannya. Demikian pula, keunggulan budaya suatu bangsa, begitu bergantung pada daya dukung masyarakatnya sebagai pewaris sekaligus sebagai agen kultural yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat tersebut. Dalam konteks semacam inilah situasi "sadar budaya," yakni, di satu sisi, kesadaran terhadap keserbanekaan bahwa kita sebagai bangsa tidak pernah selalu bersifat singular, tetapi plural; sementara pada sisi lain, kita pun tidak bisa mengisolasi diri untuk tidak bergaul dengan bangsa-bangsa lain berikut budayanya, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk diaktualisasikan lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya lewat "pendidikan" (baca: pembudayaan) apa pun bentuk pendidikan itu: formal-informal.
Sadar Budaya
Apabila situasi sadar budaya tersebut diupayakan lewat pendidikan, penyelenggaraan pendidikan harus memberikan ruang dan peluang bagi subjek-subjek yang terlibat di dalamnya masuk dalam dan terlibat pada proses tertentu yang sifatnya dinamik. Artinya, hal itu menjadi sebuah proses yang memungkinkan adanya perubahan manusia
Indonesia memasuki situasi sadar budaya sebagaimana diidealisasikan. Persoalannya, nilai-nilai budaya yang manakah yang perlu menjadi perhatian utama dalam upaya menuju situasi sadar budaya itu. Dalam konteks kependidikan, nilai-nilai tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan.
Dalarn kaitan tersebut paling tidak terdapat dua macam pandangan. Pertama, adanya pemikiran yang mempertimbangkan kehidupan manusia yang makin mengglobal. Untuk itu, diharapkan akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, transnasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama (mainstream) kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana.
Kedua, adanya pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi wilayah-wilayah kehidupan yang tidak berada di jalur utama. Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya dikhawatirkan akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan jati diri bangsa, yang ditandai oleh kebudayaannya, akhirnya menjadi isu kemanusiaan yang bersifat sentral.
Sebagai bangsa yang bhineka, kita memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistern budaya nasional Indonesia dan sistern budaya etnik lokal. Sistern budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses pembentukannya (Sedyawati, 1993/1994). Sistern ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang mana pun. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional itu bersifat menyongsong masa depan, misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan kepada yang selain itu; pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan yang tinggi atas kreativitas dan inovasi, efisiensi tindakan dan waktu; penghargaan terhadap sesama atas dasar prestasinya lebih daripada atas dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan rakyat; serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.
Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistern budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Hal tersebut akan menjadi lebih jelas tatkala kita menyadari bahwa budaya posf-kolonial, seperti kita arungi dalam waktu yang cukup lama sebagai bangsa terjajah di masa lalu, pada dasarnya merupakan persilangan dialektik antara ontologi/epestirnologi yang "lain" dan dorongan untuk mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang independen, yang digali dari sumur-sumurkearifan lokal pula.
Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhimya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara. Jadi, ujung akhir situasi sadar budaya yang ingin dicapai bukanlah situasi, seperti kata Fromm (1966), necrophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang bendawi/wujudiah yang tidak berjiwa kehidupan, melainkan situasi biophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang maknawiah yang berjiwa kehidupan.
Dengan demikian, pendidikan sebagai proses menuju hai itu dapat berfungsi sebagai subversive-force, yang mengubah dan memperbaharui keadaan, sekaligus menyadarkan dan membebaskan manusia.
Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal lewat dan dalam pendidikan budaya seperti digambarkan di atas, keniscayaan manusia didik terperangkap dalam situasi disinherited-masses, yakni manusia yang terasing dari realitas dirinya yang "menjadi ada" dalam pengertian "menjadi seperti (orang lain) dan bukannya dirinya sendiri" dapat dihindari. Jadi, muatan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi atau penjinakan sosial budaya.
Budaya barat yang sudah maju secara ekonomis dan teknologis secara tak terhindarkan telah melanda kita dengan begitu kuat sehingga kita merasa kehilangan (sebagian) identitas tradisional bangsa. Munculnya keinginan untuk membangun kembali identitas bangsa, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya "lain". Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi itu merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat.
Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren lewat pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan, sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya "yang lain". Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pernbentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada, seperti sudah disinggung di atas, munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif.
Membangun Kebudayaan Bangsa
Kebutuhan untuk membangun kebudayaan bangsa, bagi kita, sesungguhnya dimulai semenjak kita berhasil mendirikan satu negara-bangsa. Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.
Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Koreografi, musik, dan sastra yang menempatkan nilai-nilai lokalnya sebagai sumber inspirasi kreatif, bagi daerah yang bersangkutan akan mendorong rasa kebanggaan akan budayanya dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam menyumbang pembangunan budaya bangsa. Karya-karya seni budaya, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana keindonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan
Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan cara demikian, situasi sadar budaya dapat ditumbuhkan. Dengan cara demikian pula, kesadaran masyarakat terhadap sejarah pembentukan bangsa dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah masa kini dan disini,juga dapat dihindari. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal pun dapat dijadikan semacam simpai perekat dan pemersatu antar generasi.
Penutup
Akhirnya, jika nilai-nilai budaya tersebut berhasil ditanamkan lewat pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia: manusia yang sadar budaya. Artinya, memiliki nilai-nilai budaya nasional yang transetnik dan bersifat menyongsong masa depan, serta mampu pula menghayati kearifan-kearifan lokalnya. Dengan jatidiri yang kuat, kita tidak akan jatuh dalam posisi epigonis bangsa lain atau terhindar dari posisi yang subordinatif. Paling tidak, demikian itu yang menjadi idealisasinya. Dengan cara demikian, semoga saja, kebudayaan benar-benar memberikan dan menjadi roh "pembangunan" yang sedang kita "rencanakan kembali" untuk dilaksanakan menuju masyarakat Indonesia Baru. Dari Yogyakarta kita bisa memulainya secara lebih baik dan arif.
Diunduh dari : http://www.semipalar.net/artikel/artikel34.html pada 31 Mei 2009 : 3:17 WIB
Pakembinangun, 24 Februari 2005
Prof. Dr. H. Suminto A. Sayuti,
Dekan / Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Pendahuluan
Di antara fenomena atau wujud kebudayaan, yang merupakan bagian inti kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan yang tidak henti-hentinya, terutama di tengah masyarakat yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah itu bahkan menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan dan dimasukkan dalam perspektif pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, tidak terkecuali bagi kita, sebagai masyarakat postkolonial.
Dalam perspektif historis, kita sebagai bangsa telah mengalami berbagai dan berulang kali proses akulturasi, yakni tatkala kita bersemuka dengan kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia, dengan "yang lain", di antaranya: India dengan agama Hindu dan Budhanya, kebudayaan yang menyertai agama Islam, dan kebudayaan Eropa berikut konsep modernisasinya. Dalam sejumlah tulisannya, Umar Kayam telah berkali-kali mengingatkan hal itu.
Akulturasi besar yang terjadi pada masa lampau membuktikan bahwa kita sebagai bangsa mampu menyaring dan menyesuaikan unsur asing itu ke dalam tata kehidupan dengan cara sedemikian rupa, sehingga terasa layak dan cocok serta tak terpaksaan. Kini, kita pun masih berada dalam proses tegursapa dengan "yang lain" itu, terutama dengan budaya Barat, yang dalam kenyataannya telah terlebih dahulu mendunia. Akulturasi ini telah seiring dengan upaya-upaya "pembangunan "di segala bidang.
Pembangunan sebagai Proses
Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat, tidak dapat dipungkiri telah membawa kita pada kemajuan iptek, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian (kecil) dari keseluruhan kehidupan bangsa kita, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara si kaya dan si miskin, antara kecanggihan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, penyimakan yang cermat dan saksama terhadap masalah-masalah budaya yang muncul mengiringinya merupakan suatu hal yang sama sekali tak boleh diabaikan.
Dalam hubungan itu, salah satu butir yang direkomendasi oleh World Conference on Cultural Policies (1982) akan menemukan relevansinya: 'kebudayaan merupakan bagian yang fundamental dari setiap orang serta masyarakat, dan karena itu pembangunan yang tujuan akhirnya diarahkan bagi kepentingan manusia harus memiliki dimensi kebudayaan'.
Harkat dan martabat suatu bangsa, di samping hal-hal lain, juga ditentukan oleh tingkat kebudayaannya. Demikian pula, keunggulan budaya suatu bangsa, begitu bergantung pada daya dukung masyarakatnya sebagai pewaris sekaligus sebagai agen kultural yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat tersebut. Dalam konteks semacam inilah situasi "sadar budaya," yakni, di satu sisi, kesadaran terhadap keserbanekaan bahwa kita sebagai bangsa tidak pernah selalu bersifat singular, tetapi plural; sementara pada sisi lain, kita pun tidak bisa mengisolasi diri untuk tidak bergaul dengan bangsa-bangsa lain berikut budayanya, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk diaktualisasikan lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya lewat "pendidikan" (baca: pembudayaan) apa pun bentuk pendidikan itu: formal-informal.
Sadar Budaya
Apabila situasi sadar budaya tersebut diupayakan lewat pendidikan, penyelenggaraan pendidikan harus memberikan ruang dan peluang bagi subjek-subjek yang terlibat di dalamnya masuk dalam dan terlibat pada proses tertentu yang sifatnya dinamik. Artinya, hal itu menjadi sebuah proses yang memungkinkan adanya perubahan manusia
Indonesia memasuki situasi sadar budaya sebagaimana diidealisasikan. Persoalannya, nilai-nilai budaya yang manakah yang perlu menjadi perhatian utama dalam upaya menuju situasi sadar budaya itu. Dalam konteks kependidikan, nilai-nilai tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan.
Dalarn kaitan tersebut paling tidak terdapat dua macam pandangan. Pertama, adanya pemikiran yang mempertimbangkan kehidupan manusia yang makin mengglobal. Untuk itu, diharapkan akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, transnasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama (mainstream) kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana.
Kedua, adanya pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi wilayah-wilayah kehidupan yang tidak berada di jalur utama. Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya dikhawatirkan akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan jati diri bangsa, yang ditandai oleh kebudayaannya, akhirnya menjadi isu kemanusiaan yang bersifat sentral.
Sebagai bangsa yang bhineka, kita memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistern budaya nasional Indonesia dan sistern budaya etnik lokal. Sistern budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses pembentukannya (Sedyawati, 1993/1994). Sistern ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang mana pun. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional itu bersifat menyongsong masa depan, misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan kepada yang selain itu; pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan yang tinggi atas kreativitas dan inovasi, efisiensi tindakan dan waktu; penghargaan terhadap sesama atas dasar prestasinya lebih daripada atas dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan rakyat; serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.
Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistern budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Hal tersebut akan menjadi lebih jelas tatkala kita menyadari bahwa budaya posf-kolonial, seperti kita arungi dalam waktu yang cukup lama sebagai bangsa terjajah di masa lalu, pada dasarnya merupakan persilangan dialektik antara ontologi/epestirnologi yang "lain" dan dorongan untuk mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang independen, yang digali dari sumur-sumurkearifan lokal pula.
Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhimya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara. Jadi, ujung akhir situasi sadar budaya yang ingin dicapai bukanlah situasi, seperti kata Fromm (1966), necrophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang bendawi/wujudiah yang tidak berjiwa kehidupan, melainkan situasi biophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang maknawiah yang berjiwa kehidupan.
Dengan demikian, pendidikan sebagai proses menuju hai itu dapat berfungsi sebagai subversive-force, yang mengubah dan memperbaharui keadaan, sekaligus menyadarkan dan membebaskan manusia.
Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal lewat dan dalam pendidikan budaya seperti digambarkan di atas, keniscayaan manusia didik terperangkap dalam situasi disinherited-masses, yakni manusia yang terasing dari realitas dirinya yang "menjadi ada" dalam pengertian "menjadi seperti (orang lain) dan bukannya dirinya sendiri" dapat dihindari. Jadi, muatan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi atau penjinakan sosial budaya.
Budaya barat yang sudah maju secara ekonomis dan teknologis secara tak terhindarkan telah melanda kita dengan begitu kuat sehingga kita merasa kehilangan (sebagian) identitas tradisional bangsa. Munculnya keinginan untuk membangun kembali identitas bangsa, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya "lain". Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi itu merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat.
Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren lewat pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan, sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya "yang lain". Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pernbentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada, seperti sudah disinggung di atas, munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif.
Membangun Kebudayaan Bangsa
Kebutuhan untuk membangun kebudayaan bangsa, bagi kita, sesungguhnya dimulai semenjak kita berhasil mendirikan satu negara-bangsa. Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.
Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Koreografi, musik, dan sastra yang menempatkan nilai-nilai lokalnya sebagai sumber inspirasi kreatif, bagi daerah yang bersangkutan akan mendorong rasa kebanggaan akan budayanya dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam menyumbang pembangunan budaya bangsa. Karya-karya seni budaya, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana keindonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan
Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan cara demikian, situasi sadar budaya dapat ditumbuhkan. Dengan cara demikian pula, kesadaran masyarakat terhadap sejarah pembentukan bangsa dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah masa kini dan disini,juga dapat dihindari. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal pun dapat dijadikan semacam simpai perekat dan pemersatu antar generasi.
Penutup
Akhirnya, jika nilai-nilai budaya tersebut berhasil ditanamkan lewat pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia: manusia yang sadar budaya. Artinya, memiliki nilai-nilai budaya nasional yang transetnik dan bersifat menyongsong masa depan, serta mampu pula menghayati kearifan-kearifan lokalnya. Dengan jatidiri yang kuat, kita tidak akan jatuh dalam posisi epigonis bangsa lain atau terhindar dari posisi yang subordinatif. Paling tidak, demikian itu yang menjadi idealisasinya. Dengan cara demikian, semoga saja, kebudayaan benar-benar memberikan dan menjadi roh "pembangunan" yang sedang kita "rencanakan kembali" untuk dilaksanakan menuju masyarakat Indonesia Baru. Dari Yogyakarta kita bisa memulainya secara lebih baik dan arif.