KabarIndonesia - “Ma….Rico nggak masuk sekolah ya….Rico pusing,” kata Rico pada Mamanya saat beberapa menit hendak berangkat sekolah. Keluhan ini muncul sudah beberapa kali dan selalu mendekati waktu akan berangkat sekolah. Rico adalah siswa kelas 6 Sekolah Dasar di sebuah sekolah favorit di Yogyakarta. Sudah hamper dua bulan Rico berperilaku seperti itu, menolak untuk berangkat ataupun masuk sekolah. Kalaupun sudah sampai sekolah, Rico ingin pulang ke rumah.
Penolakan untuk ke sekolah adalah sebuah wacana pendidikan yang memang ada dan harus menjadi perhatian bersama. Anak-anak yang menolak untuk masuk sekolah kadangkala oleh orang dewasa diasumsikan bahwa dia anak malas dan hanya ingin membolos. Tetapi penolakan anak merupakan salah satu sinyal penting bagi kita. Menolak sekolah atau disebut juga school refusal adalah permasalahan yang memberikan tekanan yang besar terhadap anak, orang tua, dan staf sekolah. Kegagalan hadir untuk sekolah memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang yang signifikan terhadap perkembangan sosial, emosional, dan perkembangan pendidikan pada anak. Misalnya, prestasi anak menjadi merosot dan mengalami kegagalan pada berbagai mata pelajaran sehingga dapat mengancam keberlangsungan anak untuk bersekolah.
Meskipun munculnya kesulitan secara emosional untuk hadir ke sekolah menjadi label yang biasa muncul bagi school refusal, digambarkan anak juga menunjukkan gangguan emosional yang signifikan mempengaruhi kehadirannya, misalnya dengan ketakutan yang besar, tantrum atau rewel, atau mengeluh mengenai perasaan yang tidak enak. Selama jam sekolah anak memilih berada di rumah dengan diketahui oleh orang tua atas ketidakhadiran mereka. Kebanyakan anak-anak yang mengalami school refusal tingkat kecerdasannya berada di atas rata-rata, yang menunjukkan bahwa tidak mengalami masalah akademik jika tidak muncul masalah tersebut. Ketakutan berada di sekolah mungkin berkaitan dengan pengalaman anak ketika pertama kali meninggalkan rumah, terlibat dengan dengan anak lain yang tidak dikenal, mengalami ancaman terhadap kegagalan.
Beberapa anak merasa takut ke sekolah karena mereka takut menjadi bahan tertawaan, ejekan, atau bullying dari anak yang lainnya, atau mendapat kritikan atau pendisiplinan dari guru. Disfungsi dalam keluarga juga dapat menjadi penyebab munculnya masalah ini. Misalnya adalah adanya ketergantungan yang tinggal pada anak, adanya kedekatan yang sedikit dalam keluarga, atau keluarga yang terisolasi dari kehidupan orang lain atau tingginya konflik dalam keluarga. Sehingga, dampak dari semua peristiwa yang tidak mengenakan bagi anak pada akhirnya memunculkan perilaku menolak sekolah yang memberikan dampak baik jangka pendek maupun panjang dalam dunia akademik si anak. School refusal menunjukkan ketidakhadiran anak yang hampir sama dengan membolos, tetapi terdapat perbedaan kriteria yaitu:
School Refusal kriterianya;
- Adanya beberapa tekanan emosional berkaitan dengan kehadiran ke sekolah; meliputi kecemasan, temper tantrum, depresi, atau gejala somatik.
- Orang menyadari adanya ketidakhadiran ke sekolah; anak biasanya mencoba untuk membujuk orang tua untuk menemani mereka di rumah dan orang tahu mengenai ketidakhadiran anak
- Tidak terlibat dalam perilaku anti sosial yang signifikan seperti kenakalan.
- Selama waktu sekolah, anak biasanya tinggal di rumah karena merasa lingkungan rumah lebih aman dan nyaman.
- Anak memiliki keinginan untuk menyelesaikan tugas sekolah dan melengkapi pekerjaan sekolah di rumah.
Membolos kriterianya;
- Kecemasan yang tidak berlebihan atau ketakutan yang tidak berlebihan terhadap kehadiran ke sekolah.
- Anak biasanya menyembunyikan ketidakhadiran dari orang tuanya.
- Sering melakukan perilaku anti sosial meliputi kenakalan dan aktivitas merusak (mencuri, berbohong. Biasanya masuk dalam kelompok yang anti sosial).
- Selama jam sekolah, anak lebih sering tidak berada di rumah.
- Kurangnya ketertarikan terhadap pekerjaan rumah dan ketidakinginan untuk terlibat dalam bidang akademik dan perilaku yang diharapkan.
Penolakan anak untuk sekolah merupakan masalah yang perlu digali lebih dalam sehingga dapat ditemukan penyebab dan dapat dilakukan penanganan yang tepat. Sehingga, anak dapat berfungsi secara maksimal dan potensi anak dapat berkembang dengan baik. Ketakutan atau kecemasan anak untuk hadir di sekolah dapat berkurang atau bahkan hilang sehingga ia dapat beraktivitas dengan baik. Mereka tidak lagi mengalami ketinggalan pelajaran dari anak-anak yang lainnya.
Penolakan untuk ke sekolah adalah sebuah wacana pendidikan yang memang ada dan harus menjadi perhatian bersama. Anak-anak yang menolak untuk masuk sekolah kadangkala oleh orang dewasa diasumsikan bahwa dia anak malas dan hanya ingin membolos. Tetapi penolakan anak merupakan salah satu sinyal penting bagi kita. Menolak sekolah atau disebut juga school refusal adalah permasalahan yang memberikan tekanan yang besar terhadap anak, orang tua, dan staf sekolah. Kegagalan hadir untuk sekolah memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang yang signifikan terhadap perkembangan sosial, emosional, dan perkembangan pendidikan pada anak. Misalnya, prestasi anak menjadi merosot dan mengalami kegagalan pada berbagai mata pelajaran sehingga dapat mengancam keberlangsungan anak untuk bersekolah.
Meskipun munculnya kesulitan secara emosional untuk hadir ke sekolah menjadi label yang biasa muncul bagi school refusal, digambarkan anak juga menunjukkan gangguan emosional yang signifikan mempengaruhi kehadirannya, misalnya dengan ketakutan yang besar, tantrum atau rewel, atau mengeluh mengenai perasaan yang tidak enak. Selama jam sekolah anak memilih berada di rumah dengan diketahui oleh orang tua atas ketidakhadiran mereka. Kebanyakan anak-anak yang mengalami school refusal tingkat kecerdasannya berada di atas rata-rata, yang menunjukkan bahwa tidak mengalami masalah akademik jika tidak muncul masalah tersebut. Ketakutan berada di sekolah mungkin berkaitan dengan pengalaman anak ketika pertama kali meninggalkan rumah, terlibat dengan dengan anak lain yang tidak dikenal, mengalami ancaman terhadap kegagalan.
Beberapa anak merasa takut ke sekolah karena mereka takut menjadi bahan tertawaan, ejekan, atau bullying dari anak yang lainnya, atau mendapat kritikan atau pendisiplinan dari guru. Disfungsi dalam keluarga juga dapat menjadi penyebab munculnya masalah ini. Misalnya adalah adanya ketergantungan yang tinggal pada anak, adanya kedekatan yang sedikit dalam keluarga, atau keluarga yang terisolasi dari kehidupan orang lain atau tingginya konflik dalam keluarga. Sehingga, dampak dari semua peristiwa yang tidak mengenakan bagi anak pada akhirnya memunculkan perilaku menolak sekolah yang memberikan dampak baik jangka pendek maupun panjang dalam dunia akademik si anak. School refusal menunjukkan ketidakhadiran anak yang hampir sama dengan membolos, tetapi terdapat perbedaan kriteria yaitu:
School Refusal kriterianya;
- Adanya beberapa tekanan emosional berkaitan dengan kehadiran ke sekolah; meliputi kecemasan, temper tantrum, depresi, atau gejala somatik.
- Orang menyadari adanya ketidakhadiran ke sekolah; anak biasanya mencoba untuk membujuk orang tua untuk menemani mereka di rumah dan orang tahu mengenai ketidakhadiran anak
- Tidak terlibat dalam perilaku anti sosial yang signifikan seperti kenakalan.
- Selama waktu sekolah, anak biasanya tinggal di rumah karena merasa lingkungan rumah lebih aman dan nyaman.
- Anak memiliki keinginan untuk menyelesaikan tugas sekolah dan melengkapi pekerjaan sekolah di rumah.
Membolos kriterianya;
- Kecemasan yang tidak berlebihan atau ketakutan yang tidak berlebihan terhadap kehadiran ke sekolah.
- Anak biasanya menyembunyikan ketidakhadiran dari orang tuanya.
- Sering melakukan perilaku anti sosial meliputi kenakalan dan aktivitas merusak (mencuri, berbohong. Biasanya masuk dalam kelompok yang anti sosial).
- Selama jam sekolah, anak lebih sering tidak berada di rumah.
- Kurangnya ketertarikan terhadap pekerjaan rumah dan ketidakinginan untuk terlibat dalam bidang akademik dan perilaku yang diharapkan.
Penolakan anak untuk sekolah merupakan masalah yang perlu digali lebih dalam sehingga dapat ditemukan penyebab dan dapat dilakukan penanganan yang tepat. Sehingga, anak dapat berfungsi secara maksimal dan potensi anak dapat berkembang dengan baik. Ketakutan atau kecemasan anak untuk hadir di sekolah dapat berkurang atau bahkan hilang sehingga ia dapat beraktivitas dengan baik. Mereka tidak lagi mengalami ketinggalan pelajaran dari anak-anak yang lainnya.