GURU & TIK
Seringkali kita mendengar bahwa “Sekolah yang ngetren” dewasa ini adalah sekolah yang telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di dalam kegiatan pembelajaran. Itulah sebabnya berbagai pimpinan sekolah terutama di kota-kota besar berupaya untuk melengkapi sekolahnya dengan fasilitas TIK. Pemahaman yang demikian ini juga menghinggapi para guru sehingga “guru yang dianggap ngetren” dewasa ini adalah guru yang memanfaatkan TIK dalam membelajarkan para peserta didiknya. Itulah sebabnya, sebagian para guru berupaya untuk melengkapi dirinya dengan fasilitas TIK dan mempelajari cara-cara memanfaatkannya dalam kegiatan pembelajaran. Ada juga pemikiran yang berkembang bahwa TIK identik dengan komputer dan internet. Oleh karena itu, apabila para guru ingin dikategorikan telah memanfaatkan TIK, maka guru yang bersangkutan harus dapat menggunakan komputer dan internet. Seiring dengan pemahaman yang demikian ini, tawaran untuk memiliki komputer laptop secara kredit berdatangan kepada para guru. Terlepas dari faktor yang menjadi pertimbangan, tawaran kredit pemilikan laptop ini pada umumnya mendapat respons positif dari para guru. Adalah satu hal yang mulai banyak terlihat bahwa para guru menjinjing atau melengkapi dirinya dengan laptop saat menghadiri berbagai kegiatan atau pertemuan, apakah kegiatan pelatihan, lokakarya, atau seminar. Kebiasaan guru mencatat atau menulis di atas kertas hal-hal penting selama pertemuan telah mulai ditinggalkan secara berangsur-angsur. Para guru sudah mulai beralih ke laptop. Fungsi laptop bagi guru memang tidak hanya untuk sekedar catat-mencatat hal-hal penting selama mengikuti suatu pertemuan atau kegiatan tetapi laptop telah difungsikan untuk berbagai kepentingan lainnya. Fungsi laptop telah dikembangkan penggunaannya oleh guru, yaitu antara lain adalah untuk (1) membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di mana guru tidak perlu menulis ulang beberapa hal yang bersifat umum atau yang sama karena didukung oleh fasilitas “copy and paste” yang tersedia di laptop; (2) mempelajari materi sajian yang tersedia atau dikemas di dalam bentuk digital; (3) membuat dan mempresentasikan materi sajian; (4) mengolah hasil-hasil penilaian prestasi belajar peserta didik; (5) mengakses berbagai dokumen/artikel/tulisan/informasi dari internet (internet browsing); (6) mengirim dan menerima informasi atau dokumen elektronik yang disajikan lewat jaringan elektronik; dan (7) mengolah dan menganalisis data/informasi. Berbagai bentuk kecenderungan sikap guru mengenai pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Guru yang berinisiatif untuk merancang dan memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajarannya. Guru tipe pertama ini mempunyai inisiatif sendiri untuk merancang dan memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya. Ada dorongan atau motivasi yang tumbuh dan berkembang di dalam diri guru sehingga dirinya tergugah atau terpanggil untuk mengenalkan sesuatu pembaharuan kepada peserta didiknya. Inisiatif untuk mencari informasi, mempelajari dan atau melakukan sendiri inovasi (bentuk inovasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pemanfaatan TIK untuk kepentingan pembelajaran) datang sepenuhnya dari kesadaran diri guru sendiri. Rasa keterpanggilan yang berkembang di dalam diri guru yang senantiasa mendorong untuk mencari informasi atau bahkan mempelajari berbagai inovasi atau kemajuan yang telah dikembangkan atau dikenalkan di tempat lain, baik secara kelembagaan maupun secara perseorangan. Kemudian, inovasi yang diketahui dan dipelajari guru ini dibawa ke dalam kelas untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pembelajaran peserta didiknya. Guru tipe yang demikian ini juga aktif untuk melakukan sendiri eksperimentasi termasuk pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajarannya. Guru tipe pertama ini akan tetap memilliki komitmen yang tinggi untuk mengenalkan atau melakukan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran sekalipun tidak ada dukungan dari pimpinan sekolah. Yang menjadi prinsip di dalam diri guru adalah bagaimana memberikan yang terbaik bagi kemajuan belajar para peserta didiknya sekalipun mungkin membutuhkan pengorbanan, baik dalam arti waktu, tenaga maupun finansial. Ada kepuasan tersendiri yang dinikmati guru manakala dirinya berhasil mengenalkan atau melakukan sesuatu pembaharuan bagi kepentingan peserta didiknya. 2. Guru yang Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran karena Diperintah Pemanfaatan TIK untuk pembelajaran baru dilakukan guru apabila pimpinan sekolah menginstruksikannya. Manakala tidak ada instruksi dari pimpinan sekolah untuk memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran, maka guru tipe kedua ini tidak akan mau repot-repot dengan TIK. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru cenderung hanya melanjutkan cara-cara yang selama ini telah dilakukannya. Tidak ada inisiatif yang berasal dari diri guru untuk mencoba melakukan pembaharuan termasuk pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Bahkan cara-cara mengelola kegiatan pembelajaran yang dilakukannya juga adalah meniru cara-cara yang telah pernah dilakukan oleh gurunya ketika dirinya masih berstatus sebagai peserta didik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa guru ini adalah guru yang ”baru mau melakukan pembaharuan dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya apabila ada instruksi atau perintah dari pimpinan sekolah”. Atau, guru tipe kedua ini adalah guru yang sekedar melaksanakan tugas pembaharuan (termasuk pemanfaatan TIK untuk pembelajaran) karena diinstruksikan oleh pimpinan sekolah. Kelemahan yang terjadi adalah kecenderungan ”kurang kepedulian” (tidak terlalu ”concern”) terhadap proses dan hasil kegiatan pembaruan. Kalau ada masalah yang terjadi dalam melaksanakan pembaharuan, maka guru tipe ini merasa bukan menjadi tanggungjawabnya karena tugasnya adalah ”sebatas melaksanakan instruksi/perintah Kepala Sekolah”. 3. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran berdasarkan Pamrih Ada ungkapan yang mewabah akhir-akhir ini yang memperlihatkan bagaimana respon atau tanggapan seseorang terhadap suatu kegiatan yang ditugaskan kepada dirinya. Ungkapan tersebut biasanya diajukan dalam bentuk pertanyaan, yaitu: ”Apa manfaat yang akan saya peroleh kalau melaksanakan kegiatan yang ditugaskan?”. Analoginya di bidang pembelajaran adalah: ”Apa manfaat yang akan saya peroleh kalau melaksanakan kegiatan pembaharuan atau pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran?”. Kejelasan mengenai manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh, akan mewarnai kecenderungan sikap. Kalau tidak ada kejelasan tentang manfaat yang akan diperoleh, maka kecenderungan sikap yang diperlihatkan adalah menolak melaksanakan kegiatan yang ditugaskan. Sebaliknya, guru akan memperlihatkan sikap yang responsif/positif manakala jelas manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh. Artinya, ada pamrih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu kegiatan pembaharuan termasuk kegiatan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Apabila ternyata manfaat atau keuntungan yang diperoleh selama memanfaatkan TIK tidak lagi berlanjut, maka kegiatan guru memanfaatkan TIK dalam pembelajaran juga akan berhenti. 4. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran kalau Sudah Terbukti Manfaatnya Untuk mau atau bersedia melakukan pembaharuan dalam kegiatan pembelajaran termasuk pemanfaatan TIK, guru tipe keempat ini mensyaratkan harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana hasil atau bukti dari pelaksanaan pembaharuan atau penerapan TIK dalam pembelajaran yang telah dilakukan di tempat lain. Kalau belum ada bukti mengenai keberhasilan penerapan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran di suatu lokasi, maka guru tipe keempat ini tidak akan bersedia (merasa ”reluctant”) untuk memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran di sekolahnya. Apabila diminta untuk mencoba menerapkan pemanfaatan TIK, maka dia akan mengatakan ”Saya perlu bukti terlebih dahulu dari sekolah yang telah menerapkan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran”. Secara singkat dapat dikatakan bahwa guru tipe keempat ini selalu menuntut adanya bukti terlebih dahulu tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Sejauh belum ada informasi tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran, maka kecenderungan sikap yang diperlihatkan adalah menolak melaksanakan pemanfaatan TIK bagi peserta didiknya. Guru tipe keempat ini juga tidak mempunyai keinginan untuk mau mencoba terlebih dahulu gagasan pemanfaatan TIK kepentingan pembelajaran bagi peserta didiknya. Di sisi lain, guru ini akan sangat peduli (concern) dan memperlihatkan komitmen yang tinggi untuk penerapannya apabila dia sudah benar-benar mengetahui tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. 5. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran karena Gengsi Memang kadangkala ”gengsi” membuat seseorang terpaksa melakukan sesuatu sekalipun sesuatu itu bukan merupakan kebutuhan yang diperlukan. Demikian juga halnya dengan guru dewasa ini. Agar seorang guru tidak dikatakan ”gagap teknologi” (gatek), maka guru ”memaksakan dirinya” untuk ”berteknologi ria” sekalipun sebenarnya dirinya sendiri belum sepenuhnya memahami nilai manfaat dari penerapan teknologi atau bahkan mungkin secara obyektif pemanfaatan teknologi itu belum merupakan suatu kebutuhan yang mendesak bagi dirinya. Bahkan teknologi itu juga mungkin secara obyektif belum menjadi kebutuhan dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya. Inilah yang disebut sebagai kecenderungan sikap untuk memperlihatkan ”gengsi” bahwa dirinya tidak lagi termasuk ”gatek” tetapi sudah masuk ke dalam kelompok ”guru yang ngetren”. Demi ”gengsi”, berbagai kebutuhan obyektif lainnya mungkin menjadi tertunda pemenuhannya. Yang lebih disayangkan lagi adalah bahwa demi ”gengsi”, sang guru merelakan dirinya untuk meminjam uang atau membeli perangkat teknologi melalui cicilan kredit. Akibatnya, istilah ”gali lobang, tutup lobang” terpaksa dilakukan guru. Lebih disayangkan lagi, sang guru tidak mempunyai anggaran tertentu manakala perangkat teknologi yang telah dimilikinya itu mengalami kerusakan. Tidak tahu juga kemana harus dibawa perangkat teknologi yang rusak agar dapat diperbaiki. Dapat saja terjadi bahwa perangkat teknologi yang dibeli hanya dimanfaatkan beberapa kali dan bisa saja bukan untuk kepentingan yang memang sangat dibutuhkan. ”Gengsi” mendorong atau menggoda guru untuk kurang kritis menilai dirinya, kebutuhannya, dan kemampuannya dalam rangka pengembangan dirinya tetapi lebih cenderung pada daya tarik ”gengsi”. Demikianlah setidak-tidaknya ada 4 (empat) kecenderungan sikap guru terhadap upaya pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Tulisan ini didasarkan atas pengamatan umum tentang kecenderungan sikap guru terhadap pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Tentunya diperlukan adanya tindak lanjut berupa hasil penelitian mengenai kecenderungan sikap guru terhadap upaya pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran.
Potensi Teknologi dalam Memperluas Layanan Kesempatan Belajar
Ada pemikiran sebagian orang yang mengatakan bahwa pemanfaatan teknologi dalam kegiatan pembelajaran akan semakin memperluas atau memperlebar kesenjangan (gap) antara sekolah-sekolah yang ada di daerah perkotaan dengan yang ada di daerah pedesaan terlebih-lebih lagi dengan sekolah-sekolah yang terdapat di daerah terpencil atau sulit komunikasinya. Yang pada umumnya siap menerima dan memanfaatkan teknologi hanyalah sekolah-sekolah yang terdapat di daerah perkotaan. Kesan sepintas memang kita dapat menerima pemikiran tersebut namun manakala ditelaah secara lebih cermat lagi, maka pemikiran tersebu tidaklah sepenuhnya benar. Mengapa dikatakan demikian? Pemanfaatan teknologi dimungkinkan diterapkan di berbagai sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil atau daerah yang secara geografis sulit dijangkau. Dampak yang dihasilkan bahkan justru berhasil memperluas kesempatan belajar bagi lebih banyak anak yang membutuhkan tetapi terkendala secara geografis dan finansial. Dengan kata lain, sekolah-sekolah di daerah terpencil dan sulit juga mempunyai kesiapan untuk memanfaatkan teknologi. Keadaan yang demikian ini merupakan bukti bahwa pemanfaatan teknologi telah memberikan dampak positif dalam arti semakin mempersempit kesenjangan yang terjadi atau semakin memperluas kesempatan memperoleh layanan belajar. Sebagai contoh dari penerapan teknologi di berbagai sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil atau daerah yang secara geografis sulit dijangkau adalah pemanfaatan radio komunikasi 2 arah. Pada umumnya, keberadaan Sekolah Menengah tingkat Pertama (SMP) untuk wilayah di luar pulau Jawa hanya terbatas sampai pada tingkat Kecamatan. Di sisi lain, keberadaan Sekolah Dasar (SD) sampai ke tingkat desa. Yang menjadi pertanyaan tentunya adalah: “Bagaimana dengan anak-anak pedesaan yang telah menyelesaikan pendidikan SD di daerah tempat tinggalnya yang terkendala secara geografis?”. Mereka adalah warga negara yang berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Terlebih lagi apabila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah mengenai Wajib Belajar Pendidikan 9 Tahun. Konsekuensi bagi anak-anak yang berada di daerah terpencil atau kondisi geografisnya sulit dengan latar belakang sosial ekonomi orangtua yang kurang menguntungkan adalah tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendidikannya ke SMP reguler yang pada umumnya terdapat di ibukota Kecamatan. Di sisi lain, hanyalah para orangtua dengan latar belakang sosial ekonomi yang relatif menguntungkan yang berpeluang untuk dapat menyekolahkan anaknya ke satuan pendidikan SMP yang terdapat di ibukota Kecamatan. Oleh karena itu, yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya agar anak-anak yang “kurang beruntung” yang berada di daerah-daerah terpencil atau daerah yang secara geografis sulit dijangkau ini tetap dapat melanjutkan pendidikannya ke SMP. Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom)-Departemen Pendidikan Nasional mengembangkan model pendidikan SMP Terbuka yang sebagian besar kegiatan pembelajarannya dilaksanakan secara mandiri. Untuk memfasilitasi anak-anak yang secara sosial ekonomis dan geografis “kurang menguntungkan” melanjutkan pendidikannya ke SMP, Pustekkom memperkenalkan pemanfaatkan teknologi radio komunikasi 2 arah. Peserta didik lulusan SD yang tersebar di berbagai desa yang tidak memungkinkan mereka datang secara teratur ke SMP reguler yang terdapat di ibukota Kecamatan dipilih sebagai lokasi percontohan. Peralatan utama radio komunikasi 2 arah yang dapat menghubungkan desa-desa yang ada di satu Kecamatan (di mana peserta didik lulusan SD dapat berkumpul) dipasang di SMP Negeri; sedangkan desa-desa yang menjadi tempat anak-anak lulusan SD berkumpul (misalnya: Balai Desa, gedung SD, atau rumah Kepala Desa) dilengkapi dengan fasilitas radio komunikasi yang lebih sederhana. Melalui perangkat peralatan yang telah ditempatkan, maka komunikasi dapat diselenggarakan antara guru-guru mata pelajaran yang ada di SMP dengan para peserta didik yang tersebar di berbagai desa. Bagaimana dengan SMP Negeri yang berperanserta tetapi belum dilengkapi dengan sumber tenaga listrik? Untuk dapat memanfaatkan peralatan radio komunikasi 2 arah, Pustekkom melengkapi SMP Negeri yang ditunjuk (yang berfungsi sebagai sekolah induk bagi peserta didik SMP Terbuka) dengan sarana pembangkit tenaga listrik yang berupa genset. Sedangkan sumber tenaga listrik untuk masing-masing tempat berkumpulnya peserta didik di berbagai desa dilengkapi dengan aki sepeda motor. Melalui pemanfaatan kedua jenis sumber tenaga listrik ini telah memungkinkan dioperasikannya fasilitas radio komunikasi 2 arah untuk kepentingan kegiatan pembelajaran. Untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan fasilitas radio komunikasi, maka Pustekkom melakukan pelatihan bagi para guru SMP Negeri mengenai cara-cara penggunaan peralatan radio komunikasi 2 arah. Selain itu, Pustekkom juga melakukan pelatihan bagi para teknisi yang akan merawat peralatan radio komunikasi 2 arah. Fokus pelatihan untuk calon teknisi adalah mengenai cara-cara pengoperasian, pemeliharaan, dan perawatan peralatan. Kemudian, para tutor di masing-masing desa dilatih Pustekkom tentang cara-cara pengoperasian, pemeliharaan, dan perawatan peralatan radio komunikasi 2 arah yang disediakan. Bahan-bahan belajar yang menjadi sumber belajar bagi masing-masing peserta didik dirancang secara khusus oleh Pustekkom (printed self-learning materials) sehingga dapat dipelajari oleh masing-masing peserta didik secara mandiri. Peserta didik dapat mempelajari bahan-bahan belajar mandiri tercetak ini (modul) secara individual maupun dalam kelompok kecil. Tugas tutor antara lain adalah yang berkaitan dengan aspek pengelolaan kegiatan pembelajaran peserta didik, pembagian bahan-bahan belajar, penyelenggaraan tes, pembimbingan peserta didik agar belajar tertib, pembimbingan peserta didik untuk berdiskusi, dan pembimbingan peserta didik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran melalui radio komunikasi 2 arah. Operasionalisasi pemanfaatan radio komunikasi 2 arah untuk kegiatan pembelajaran bagi peserta didik SMP Terbuka dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, pimpinan SMP di ibukota Kecamatan membuat jadwal pemanfaatan radio komunikasi 2 arah secara tertulis. Kemudian, jadwal tertulis ini (mencakup hari, tanggal, jam, dan mata pelajaran yang dibahas) dibagikan ke semua desa yang menjadi tempat peserta didik berkelompok (jumlah kelompok belajar berkisar antara 3-5 kelompok belajar) dan kepada semua guru mata pelajaran. Kedua, dengan berpedoman pada jadwal pemanfaatan radio komunikasi 2 arah yang telah disusun, guru mata pelajaran menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dengan semua peserta didik yang tergabung ke dalam kelompok-kelompok belajar di setiap desa. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, peserta didik di masing-masing kelompok belajar yang didampingi oleh tutor. Ketiga, pada hari dan jam yang sama, semua fasilitas radio komunikasi 2 arah yang terdapat di SMP Negeri yang telah ditunjuk dan di desa-desa tempat peserta didik berkelompok dihidupkan. Guru mata pelajaran memulai kegiatan pembelajaran dengan cara menghubungi masing-masing tutor yang bertanggungjawab terhadap fasilitas radio komunikasi. Manakala semua fasilitas sudah dalam keadaan operasional dan peserta didik juga sudah siap, maka barulah guru mata pelajaran memulai kegiatan pembelajaran. Keempat, disela-sela kegiatan pembelajaran, guru dapat meminta peserta didik mengajukan atau menjawab pertanyaan, melakukan diskusi, atau mengerjakan tugas. Kelima, guru memberikan rangkuman atau tugas lanjutan apabila tidak ada lagi pertanyaan atau masalah yang diajukan oleh peserta didik. Pemberian tes atau ulangan kepada peserta didik dapat dilakukan oleh tutor karena bahan-bahannya sudah diberikan terlebih dahulu kepada tutor. SMP Terbuka yang dilengkapi dengan fasilitas radio komunikasi 2 memungkinkan menjangkau para peserta didik lulusan SD/MI yang berada di daerah-daerah yang sulit geografisnya. Peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran di SMP Terbuka menggunakan sebagian besar waktu belajarnya secara mandiri. Kegiatan pembelajaran di SMP Terbuka yang ditunjang dengan pemanfaatan teknologi radio komunikasi 2 arah memungkinkan peserta didik lulusan SD/MI yang berada di daerah-daerah yang sulit geografisnya dapat mengikuti kegiatan pendidikan SMP.
Indonesia sebagai negara berpopulasi tertinggi ke-4 tentunya memiliki tantangan yang nyaris yang sama dengan negara China dan India. Problem kesehatan dan pendidikan selalu dijadikan parameter untuk mengukur kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Indonesia dengan populasi 247 juta dimana diantaranya terdapat 51 juta siswa dan 2,7 juta guru di lebih dari 293.000 sekolah, serta 300.000 dosen di lebih dari 2.700 perguruan tinggi yang tersebar di 17.508 pulau, 33 provinsi, 461 kabupaten/kota, 5.263 Kecamatan, dan 62.806 desa. Tentunya juga memiliki tantangan khusus di bidang pendidikan. Beberapa tantangan diantaranya adalah: masih banyaknya anak usia sekolah yang belum dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun: angka partisipasi anak berusia sekolah 7-12 tahun untuk bersekolah masih dibawah 80% (APK SMP 85,22 dan APK SMA 52,2). Tantangan berikutnya adalah (1) tidak meratanya penyebaran sarana dan prasarana pendidikan/sekolah (sebagai contoh: tidak semua sekolah memiliki saluran telepon, apalagi koneksi internet): Kota vs Desa/Daerah Terpencil/Daerah Perbatasan, Indonesia Barat vs Indonesia Timur. (2) Tidak seragamnya dan masih rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang sekolah yang ditandai dengan tingkat kelulusan UN yang masih rendah, demikian pula nilai UN yang diperoleh siswa. (3) Rendahnya kualitas kompetensi tenaga pengajar, dimana dari jumlah guru yang ada 2.692.217, ternyata yang memenuhi persyaratan (tersertifikasi) hanya 727.381 orang atau baru 27% dari total jumlah guru di Indonesia. Dan yang tidak kalah penting adalah (4) rendahnya tingkat pemanfaatan TIK di sekolah yang telah memiliki fasilitas TIK (utilitas rendah), disisi lain tidak semua sekolah mempunyai sarana TIK yang memadai. Pada kesempatan ini pula perlu sama-sama kita luruskan kembali bahwa TIK bukan hanya komputer dan internetnya, TIK juga melingkupi media informasi seperti radio dan televisi serta media komunikasi seperti telepon maupun telepon seluler dengan SMS, MMS, Music Player, Video Player, Kamera Foto Digital, dan Kamera Video Digital-nya serta e-Book Reader-nya. Jadi banyak media alternatif yang dapat dipilih oleh pengajar untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan berkesan. TIK yang termanfaatkan dengan baik dan tepat di dalam pendidikan akan: memperluas kesempatan belajar, meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas belajar, meningkatkan kualitas mengajar, memfasilitasi pembentukan keterampilan, mendorong belajar sepanjang hayat berkelanjutan, meningkatkan perencanaan kebijakan dan manajemen, serta mengurangi kesenjangan digital. Pemanfaatan TIK Menurut pemanfaatannya, TIK di dalam pendidikan dapat dikategorisasikan menjadi 4 (empat) kelompok manfaat. § Pertama, TIK sebagai Gudang Ilmu Pengetahuan, di kelompok ini TIK dimanfaatkan sebagai sebagai Referensi Ilmu Pengetahuan Terkini, Manajemen Pengetahuan, Jaringan Pakar Beragam Bidang Ilmu, Jaringan Antar Institusi Pendidikan, Pusat Pengembangan Materi Ajar, Wahana Pengembangan Kurikulum, dan Komunitas Perbandingan Standar Kompetensi. § Kedua, TIK sebagai Alat bantu Pembelajaran, di dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada 3 fungsi TIK yang dapat dimanfaatkan sehari-hari di dalam proses belajar-mengajar, yaitu (1) TIK sebagai alat bantu guru yang meliputi: Animasi Peristiwa, Alat Uji Siswa, Sumber Referensi Ajar, Evaluasi Kinerja Siswa, Simulasi Kasus, Alat Peraga Visual, dan Media Komunikasi Antar Guru. Kemudian (2) TIK sebagai Alat Bantu Interaksi Guru-Siswa yang meliputi: Komunikasi Guru-Siswa, Kolaborasi Kelompok Studi, dan Manajemen Kelas Terpadu. Sedangkan (3) TIK sebagai Alat Bantu Siswa meliputi: Buku Interaktif , Belajar Mandiri, Latihan Soal, Media Illustrasi, Simulasi Pelajaran, Alat Karya Siswa, dan media Komunikasi Antar Siswa. § Ketiga, TIK sebagai Fasilitas Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK dapat dimanfaatkan sebagai: Perpustakaan Elektronik, Kelas Virtual, Aplikasi Multimedia, Kelas Teater Multimedia, Kelas Jarak Jauh, Papan Elektronik Sekolah, Alat Ajar Multi-Intelejensia, Pojok Internet, dan Komunikasi Kolaborasi Kooperasi (Intranet Sekolah). § Keempat, TIK sebagai Infrastruktur Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK kita temukan dukungan teknis dan aplikatif untuk pembelajaran – baik dalam skala menengah maupun luas – yang meliputi: Ragam Teknologi Kanal Distribusi, Ragam Aplikasi dan Perangkat Lunak, Bahasa Pemrograman, Sistem Basis Data, Komputer Personal, Alat-Alat Digital, Sistem Operasi, Sistem Jaringan dan Komunikasi Data, dan Infrastruktur Teknologi Informasi (Media Transmisi). Berangkat dari optimalisasi pemanfaatan TIK untuk pembelajaran tersebut kita berharap hal ini akan memberi sumbangsih besar dalam peningkatan kualitas SDM Indonesia yang cerdas dan kompetitif melalui pembangunan masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society). Masyarakat yang tangguh karena memiliki kecakapan: (1) ICT and media literacy skills), (2) critical thinking skills, (3) problem-solving skills, (4) effective communication skills, dan (5) collaborative skills yang diperlukan untuk mengatasi setiap permasalahan dan tantangan hidupnya. Peran Guru & Siswa Di dalam proses belajar-mengajar tentunya ada subjek dan objek yang berperan secara aktif, dinamik dan interaktif di dalam ruang belajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru & Siswa sama-sama dituntut untuk membuat suasana belajar dan proses transfer of knowledge–nya berjalan menyenangkan serta tidak membosankan. Oleh karena itu penataan peran Guru & Siswa di dalam kelas yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran perlu dipahami dan dimainkan dengan sebaik-baiknya. Kini di era pendidikan berbasis TIK, peran Guru tidak hanya sebagai pengajar semata namun sekaligus menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar bagi Siswa. Karenanya Guru dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk mengalami peristiwa belajar. Dengan peran Guru sebagaimana dimaksud, maka peran Siswa pun mengalami perubahan, dari partisipan pasif menjadi partisipan aktif yang banyak menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan serta berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. Disisi lain Siswa juga dapat belajar secara individu, sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan siswa lain. Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka Manajemen Sekolah, Guru dan Siswa harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran yang terdiri atas prinsip-prinsip: 1. Aktif: memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna. 2. Konstruktif: memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya. 3. Kolaboratif: memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya. 4. Antusiastik: memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 5. Dialogis: memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah. 6. Kontekstual: memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan ”problem-based atau case-based learning” 7. Reflektif: memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton et al (2001)). 8. Multisensory: memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000). 9. High order thinking skills training: memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga meningkatkan ”ICT & media literacy” (Fryer, 2001).
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka bukti otentik terjadinya pembelajaran berbasis TIK dapat kita cermati dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun dan implementasinya yang dilaksanakan oleh setiap guru mata pelajaran di sekolah. RPP yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran dapat disusun melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan idealis dan pendekatan pragmatis. Pertama, Pendekatan Idealis dapat dimulai dengan menentukan topik, kemudian menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai; dan menentukan aktifitas pembelajaran dengan memanfaatkan TIK (seperti modul, LKS, program audio, VCD/DVD, CD-ROM, bahan belajar on-line di internet, atau alat komunikasi sinkronous dan asinkronous lainnya) yang relevan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Kedua, Pendekatan Pragmatis dapat diawali dengan mengidentifikasi TIK (seperti buku, modul, LKS, program audio, VCD/DVD, CD-ROM, bahan belajar on-line di internet, atau alat komunikasi sinkronous dan asinkronous lainnya) yang ada atau mungkin bisa dilakukan atau digunakan, kemudian memilih topik-topik apa yang bisa didukung oleh keberadaan TIK tersebut, dan diakhiri dengan merencanakan strategi pembelajaran yang relevan untuk mencapai kompetensi dasar dan indikator capaian hasil belajar dari topik pelajaran tersebut. Adapun strategi yang dapat dipilih sesuai dengan kedua pendekatan tersebut adalah strategi: Resources-based learning (pembelajaran berbasis sumber daya), Case/problem-based learning (pembelajaran berbasis permasalahan/ kasus sehari-hari), Simulation-based learning (pembelajaran berbasis imulasi), dan Colaborative-based learning (pembelajaran berbasis kolaborasi). Peran TVE & Jardiknas Sebagaimana kita ketahui bersama, tantangan terbesar negara kita dalam mencerdaskan bangsa adalah akses setiap masyarakat Indonesia ke sumber-sumber pengetahuan dan informasi pendidikan. Oleh karena itulah Depdiknas berupaya menjawab tantangan tersebut dengan inisiatif yang penuh inovasi melalui penyelenggaraan siaran TV Edukasi yang diresmikan pada tahun 2004 ini merupakan televisi yang mengkhususkan pada siaran pendidikan, termasuk program pembelajaran. Kemudian pada tahun 2006, Depdiknas menggelar Jardiknas (Jejaring Pendidikan Nasional) yang merupakan jaringan TIK nasional terbesar yang dimanfaatkan oleh Depdiknas untuk keperluan komunikasi data administrasi, konten pembelajaran, serta informasi dan kebijakan pendidikan. TVE yang kini telah memiliki saluran 2 untuk Guru ini memiliki pola siaran: Informasi yang berisikan materi: News, Pola siaran yang berisikan Kebijakan, Profil Guru, dan sebagainya; Tutorial (Pendidikan Formal) yang berisikan materi: pembelajaran berdasarkan kurikulum Program SD, SMP, SMA, SMK, PJJ S-1 PGSD konsorsium dan Program S1 PGSD Non Konsorsium; dan Pengayaan yang berisikan materi: pengkayaan dan materi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi Guru. Sedangkan Jardiknas saat ini memiliki 1.072 node (simpul) Zona Kantor dan Perguruan Tinggi yang tersebar di 33 provinsi dan 456 kabupaten/kota. Jardiknas yang berpusat di NOC Pustekkom Ciputat Banten dan NOC Telkom Karet Jakarta ini difasilitasi bandwidth intranet, internet domestik dan internet internasional yang cukup memadai untuk mendukung e-administrasi dan e-pembelajaran di Indonesia. Dalam waktu dekat – dalam rangka memenuhi Inpres nomor 5 tahun 2008 – Depdiknas akan mengembangkan Jardiknas Zona Sekolah untuk 15.000 sekolah dan Jardiknas Zona Perorangan untuk 7.943 tenaga pengajar yang memiliki laptop. Media koneksi Jardiknas Zona Sekolah berorientasi static internet (fixed), sedangkan Jardiknas Zona Perorangan berorientasi kepada mobile internet. Konten Kita memahami bahwa infrastruktur semegah apapun tidak akan berarti sama sekali jika tiada konten bermanfaat di dalamnya. Setiap hari pengguna internet berselancar di dunia maya hanya untuk mencari konten yang benar-benar diinginkannya secara instan. Baik didorong oleh rasa keingintahuan terhadap suatu fenomena maupun sekedar membuktikan sebuah informasi. Demikian halnya konten pendidikan yang disajikan melalui TVE maupun disediakan melalui Jardiknas. Beberapa konten e-learning yang selama ini cukup mendukung pembelajaran berbasis TIK adalah: Bimbingan Belajar Online, Bank Soal Online, Uji Kompetensi Online, Smart School, Telekolaborasi, Digital Library, Research Network, dan Video Conference PJJ. Salah satu konten yang cukup menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah program buku murah yang dikemas di dalam aplikasi Buku Sekolah Elektronik (BS) yang dapat diakses melalui: bse.depdiknas.go.id. BSE merupakan langkah reformasi di bidang perbukuan dimana Depdiknas telah membeli Hak Cipta buku-buku teks pelajaran SD, SMP, SMA, dan SMK tersebut. Softcopy buku-buku teks pelajaran tersebut didistribusikan melalui web BSE agar guru atau masyarakat dapat mengakses, mengunduh, mencetak, mendistribusikan, atau menjualnya sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) dimana saja dan kapan saja. Selain BSE versi Online yang dapat diakses melalui internet, Depdiknas juga telah menyediakan dan mendistribusikan BSE versi Offline yang dikemas di dalam cakram padat DVD. Demikian strategi pengembangan pembelajaran berbasis TIK yang terus-menerus dikembangkan dan didukung oleh Depdiknas melalui sejumlah inisiatif dan inovasi di bidang teknologi pembelajaran, teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Kita dapat berharap suatu saat nanti TVE dan Jardiknas dapat menjadi Pusat Konten Pembelajaran yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja melalui koneksi Kabel, Nirkabel & Satelit.
Istilah sumber belajar sudah sering diperbincangkan terutama di lingkungan masyarakat kependidikan. Apabila setting-nya sekolah, berbicara mengenai sumber belajar, maka yang pertama-tama terlintas di dalam pemikiran adalah guru yang berperan sebagai sumber belajar bagi para peserta didiknya. Apabila sedikit agak lebih lama, maka yang terlintas berikutnya di alam pikiran kita adalah buku, baik itu buku pegangan guru maupun buku pegangan peserta didik. Guru menggunakan buku untuk membantu dirinya menyajikan materi pelajaran kepada segenap peserta didiknya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pertanyaan yang mungkin terlontar adalah apa yang terlintas di dalam benak kita kalau anak belajar di rumah? Demikian juga dengan anak yang sedang belajar di perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum, apa yang segera muncul di dalam benak kita? Apa pula yang akan mencuat di dalam pikiran kita kalau dikatakan bahwa seorang atau sekelompok anak sedang belajar di warung internet, di depan sebuah televisi atau di sebuah taman? Masih banyak lagi setting yang dapat digunakan sebagai tempat belajar. Jika demikian, lantas apa yang terbersit di dalam pikiran kita setiap kita mendengar seseorang belajar dengan setting tertentu?
Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa belajar itu dapat terjadi di mana-mana, baik di sekolah, di rumah, perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum, di warung internet, di sebuah taman atau pendeknya di mana saja? Belajar sudah jelas, tidak lagi hanya terbatas di lingkungan sekolah. Oleh karena belajar tidak hanya terjadi di sekolah tetapi dapat terjadi di mana saja, maka dapat pula dikemukakan bahwa sumber belajar itu tidak lagi terbatas pada guru tetapi jauh lebih luas daripada guru. Berdasarkan informasi yang telah dikemukakan di atas, dapatlah dikatakan bahwa sumber belajar dapat berupa guru, buku, internet, televisi atau lingkungan (baca: taman). Apabila demikian halnya, maka pertanyaannya sekarang adalah apa yang dimaksudkan dengan sumber belajar? Pertanyaan berikutnya yang juga dipandang penting adalah apa yang dimaksudkan sebagai kegiatan ”belajar”? Sumber belajar menurut Yusufhadi Miarso adalah segala sesuatu yang meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan, baik secara tersendiri maupun terkombinasikan dapat memungkinkan terjadinya belajar. Sumber belajar dapat dirancang secara khusus untuk digunakan bagi kepentingan pembelajaran (learning resources by design) tetapi sumber belajar dapat juga sebagai sesuatu yang tinggal dimanfaatkan karena sudah tersedia di lingkungan (learning resources by utilization). Kemudian, istilah belajar dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi antara seseorang dengan sumber belajar yang menghasilkan terjadinya perubahan tingkah laku. Selanjutnya, pola pemanfaatan sumber belajar yang dikembangkan pada tahap awal sekali adalah interaksi langsung antara peserta didik dengan sumber belajar yang berupa guru atau seseorang yang memang mempunyai pengetahuan lebih untuk disampaikan kepada peserta didik. Dalam hal ini, guru merupakan satu-satunya sumber belajar bagi peserta didiknya. Bahkan pada zaman dahulu dikenal adanya kaum Sufi yang profesi atau pekerjaannya adalah sebagai ”penjaja ilmu pengetahuan”. Contoh lain dari pola pembelajaran secara langsung antara guru (pendekar silat) sebagai sumber belajar dengan peserta didik (mereka yang ingin belajar silat) yang pada umumnya banyak dijumpai di negeri Cina (Shaolin). Pola pemanfaatan sumber belajar yang kedua adalah masih juga tetap menggunakan guru tetapi fungsinya hanya sebagai sumber belajar utama (bukan lagi satu-satunya sumber belajar) karena dibantu oleh sumber belajar lainnya. Dalam kaitan ini, sumber belajar lainnya yang digunakan guru untuk menyajikan materi pelajaran dapat saja berupa media, baik yang berupa alat/fasilitas, media cetak (misalnya buku, modul atau handouts), media kaset audio, media audiovisual. Pada pola pemanfaatan sumber belajar tahap kedua ini, sumber belajar guru merupakan pihak yang sangat menentukan (sangat dominan) apakah dirinya akan memanfaatkan media atau tidak dalam membelajarkan peserta didiknya. Artinya, pemanfaatan media sebagai sumber belajar lain di luar guru sangat tergantung pada sikap dan komitmen guru. Media diperlakukan guru sebagai alat bantu mengajar (teaching aids). Yang namanya alat bantu mengajar, tentu bisa digunakan dan bisa juga tidak digunakan. Manakala guru sebagai sumber belajar utama sudah ”media minded”, maka pemanfaatan media akan dilakukan secara terencana. Pola pemanfaatan sumber belajar yang ketiga adalah bahwa guru dan media sebagai sumber belajar lainnya berbagi fungsi atau peran secara seimbang. Artinya, guru mempunyai fungsi/peran tertentu yang kurang lebih sama bobotnya dan fungsi/peran media sebagai sumber belajar lainnya. Ada pembagian tugas yang jelas antara guru dan media dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Peserta didik belajar mengenai aspek-aspek tertentu dari materi pelajar melalui sumber belajar guru dan aspek-aspek tertentu lainnya dari sumber belajar yang berupa media. Pola pemanfaatan sumber belajar yang keempat adalah bahwa peran guru sudah lebih banyak dilimpahkan kepada media sebagai sumber belajar lain. Media sebagai sumber belajar lain mendapatkan peran yang lebih besar (lebih dominan) dibandingkan dengan peran yang dimainkan guru. Sekalipun demikian peran guru sebagai sumber belajar masih tetap dibutuhkan peserta didik tetapi hanya sebagai fasilitator, motivator dan pemberian tutorial dalam kegiatan pembelajaran. Namun demikian tidaklah berarti bahwa peran guru yang lebih kecil itu membuat guru menjadi ”kurang berarti” dalam kegiatan pembelajaran. Bahkan peran guru menjadi lebih fokus pada pemberian bimbingan belajar secara individual kepada peserta didik terutama yang mengalami kesulitan. Pola pemanfaatan sumber belajar yang kelima adalah bahwa peserta didik yang sepenuhnya langsung berinteraksi dengan sumber belajar yang berupa media. Dalam kaitan ini, ada istilah yang mengatakan bahwa seseorang berhasil mempelajari suatu pengetahuan atau keterampilan tanpa mengikuti kursus atau les. Orang yang demikian ini disebut belajar secara otodidak. Terlebih lagi di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, siapa saja mandiri. Seseorang yang ingin belajar membuat ikan pepes misalnya, tidak perlu harus mencari koki yang akan membelajarkannya untuk membuat ikan pepes. Dengan membeli dan mempelajari buku masak tentang memasak berbagai jenis ikan dan kemudian mempraktekkannya, maka orang yang bersangkutan akan dapat membuat ikan pepes. Artinya, seseorang cukup berinteraksi dengan sumber belajar yang berupa buku. Atau, melalui akses internet dengan memasukkan kata kunci tertentu sesuai dengan yang dibutuhkan ke dalam mesin pencari, maka seseorang akan mendapatkan banyak sumber belajar yang dapat dipelajari. Dari berbagai jenis poa pemanfaatan sumber yang telah dikemukakan, yang jauh lebih penting adalah pemahaman tentang keterbatasan dan kelebihan baik sumber belajar yang berupa guru, maupun sumber belajar lain di luar guru. Melalui pemahaman yang demikian ini disertai dengan komitmen memberikan yang terbaik kepada peserta didik, maka seorang guru akan membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terintegrasi di mana fungsi atau peran dirinya tidak lagi terlalu dominan dalam kegiatan pembelajaran tetapi sebagian telah dilimpahkan pada sumber belajar lain di luar dirinya. Jika kegiatan pembelajaran yang diterapkan guru berbasis aneka sumber, maka diharapkan kegiatan pembelajaran pun akan dirasakan peserta didik sebagai kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan belajar akan menjadi kegiatan yang senantiasa dirindukan peserta didik karena menyenangkan (learning is fun).
Bagaimanakah Kegiatan Pembelajaran yang Berfokus kepada Peserta Didik?
Mendengar istilah “Pembelajaran berfokus kepada peserta didik” setidak-tidaknya memuncul-kan pertanyaan, yaitu: “Apakah selama ini kegiatan pembelajaran belum berfokus kepada peserta didik?”. Atau pertanyaan lain yang dirumuskan secara berbeda, yaitu: “Apakah selama ini kegiatan pembelajaran berfokus kepada guru?”. Seandainya jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan ini adalah bahwa kegiatan pembelajaran tidak lagi berfokus pada guru tetapi sudah berfokus kepada peserta didik, maka pertanyaan berikutnya yang muncul adalah “Bagaimanakah konsep kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik itu?”. Dengan berkembangnya pemikiran tentang pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik, apakah para guru juga sudah memahami bahwa kegiatan pembelajaran yang mereka kelola sehari-hari haruslah berfokus kepada peserta didik. Bagaimanakah peranan atau posisi guru selaku manajer kegiatan pembelajaran (instructional manager) dalamkegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik? Pada awalnya, guru memang merupakan salah satu atau dapat dikatakan sebagai satu-satunya komponen penting dalam kegiatan pembelajaran. Dikatakan sebagai satu-satunya komponen penting dalam kegiatan pembelajaran karena apabila disebabkan satu dan lain hal, guru terpaksa tidak dapat hadir di sekolah, maka kegiatan pembelajaran pun dapat dikatakan tidak akan berlangsung. Dengan demikian, guru memang benar-benar berfungsi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Manakala keadaannya sudah sedemikian rupa seperti tersebut di atas, di mana kegiatan pembelajaran sangat tergantung pada kehadiran guru, maka dapatlah dikatakan bahwa model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran yang berfokus kepada guru. Dari RPP yang disusun guru juga dapat dilihat apakah kegiatan pembelajaran yang dikelola guru masih berorientasi pada kepentingan guru atau peserta didik. Apakah dengan paradigma kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik mengindikasikan bahwa guru telah mengubah posisi keberadaan dirinya di dalam kelas bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik? Tetapi guru telah memposisikan dirinya sebagai salah satu sumber belajar karena guru telah menerapkan kegiatan pembelajaran yang menggunakan berbagai sumber belajar di dalam kegiatan pembelajaannya. Kegiatan pembelajaran yang demikian ini disebut juga sebagai kegiatan pembelajaran berbasis aneka sumber (resources-based learning). Manakala guru secara konsisten menerapkan kegiatan pembelajaran berbasis aneka sumber, maka guru yang bersangkutan dapat dikatakan telah menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus pada peserta didik. Dalam kaitan ini, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah “Apakah yang menjadi ciri-ciri atau karakteristik dari kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik?”. “Bagaimana pula perbedaannya dengan pembelajaran yang berfokus kepada guru?”. Dari metode mengajar yang diterapkan guru di dalam kelas, dapatlah diketahui apakah sang guru masih tetap menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada dirinya. Kemudian, menarik juga untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Apakah anda sebagai guru hanya menggunakan metode mengajar chalk and talk” (kapur tulis dan bicara)? Apakah anda juga hanya menuliskan di papan tulis materi pelajaran yang perlu anda sampaikan kepada para peserta didik dan kemudian menceramahkannya?. Apakah anda juga mengkondisikan peserta didik untuk hanya duduk manis dan mencatat apa yang anda tulis di papan tulis dan kemudian mendengarkan ceramah anda secara cermat?. Apakah setelah semua tugas mengajar anda selesai, maka anda langsung meninggalkan ruang kelas dan peserta didik pun terbebas dari anda sebagai guru? Apabila jawaban kita “YA” terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka hal itu mengindikasikan bahwa kita sebagai guru masih berada pada posisi yang menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada diri kita sendiri selaku guru. Untuk lebih memantapkan pemahaman kita mengenai pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik atau guru, maka ada baiknya kita merespon serangkaian pertanyaan yang diajukan berikut ini. Tujuannya adalah untuk melatih kita memahami konsep kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik. Oleh karena itu, sejauh mana kita sebagai guru mampu memahami pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memberikan jawaban secara tuntas, maka pemahaman kita akan semakin lebih jelas mengenai kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik. “Apakah RPP yang kita susun masih menekankan aspek kemampuan atau keberhasilan kita mengajarkan materi pelajaran? Sejauh manakah materi pelajaran yang telah ditetapkan di dalam RPP telah selesai kita ajarkan kepada peserta didik kita? Atau, apakah kita sebagai guru masih menekankan kegiatan pembelajaran pada tingkat pemahaman atau penguasaan peserta didik (kompetensi) terhadap materi pelajaran yang kita rancang? Pertanyaan selanjutnya adalah “Apakah peserta didik telah berhasil mencapai tingkat kompetensi sebagimana yang ditetapkan di dalam RPP?”. “Apakah kita sebagai guru merasa puas manakala kita telah berhasil menyajikan semua materi pelajaran yang telah direncanakan di dalam RPP?”. Apakah menjadi kepedulian (concern) kita juga sebagai guru mengenai materi pelajaran yang telah kita sajikan itu telah benar-benar dipahami/dikuasai oleh peserta didik kita?. Terhadap serangkaian pertanyaan tersebut di atas, bagaimana kita sebagai guru menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan sekaligus juga merenungkan apa yang menjadi jawaban kita? Apakah kita mengatakan, “Oh ya, berarti sebenarnya saya belum sepenuhnya menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik” atau sebaliknya, “Nah, barulah sekarang saya tahu bahwa saya sebenarnya sudah mulai menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik”. Sehubungan dengan respon kita terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dan untuk lebih mengarahkan perhatian kita mengenai model pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik, maka pada bagian berikut ini akan diuraikan karakteristik model pembelajaran yang berfokus pada peserta didik versi Molly Jhonson (Jhonson, 2007). Beberapa di antara karakteristiknya adalah bahwa (1) guru lebih berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran ketimbang sebagai penyaji pengetahuan, (2) pengelolaan kelas yang lebih kondusif terhadap kegiatan dan interaksi peserta didik yang mengarah pada pengalaman belajar yang produktif, (3) peserta didik aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran ketimbang hanya duduk manis dan pasif selama kegiatan belajar berlangsung di dalam kelas, dan (4) membutuhkan investasi waktu dan energi untuk menerapkan model pembelajaran yang berfokus pada peserta didik. Lebih lanjut, Molly Jhonson mengemukakan beberapa persyaratan yang harus diperhatikan agar pelaksanaan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik berhasil, yaitu: (1) mengubah paradigma guru menjadi fasilitator pembelajaran, (2) komitmen guru dalam menyediakan waktu dan tenaga untuk membelajarkan peserta didik tentang berbagai materi pengetahuan, (3) kesediaan guru untuk mencoba menerapkan pendekatan baru dalam mengelola kelas, dan melihat secara kritis usaha penerapan pembelajaran yang berfokus pada peserta didik, dan (4) inisiatif guru untuk bergabung dengan kelompok masyarakat pengembang strategi pembelajaran yang berfokus pada peserta didik.
Dengan menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik, maka berikut ini diuraikan beberapa tambahan peranan yang baru bagi guru. - Peranan baru yang pertama bagi guru yang menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik adalah (1) memahami dan mengetahui secara jelas kearah mana peserta didik secara kognitif dikehendaki akan berkembang. Dalam hal ini, guru hendaknya mengetahui tingkat kemampuan berpikir yang dituntut untuk dikembangkan oleh peserta didik selama kegiatan pembelajaran berlangsung, (2) menggunakan analogi dan metafor, (3) mengembangkan mekanisme yang tidak berbahaya dan juga tidak menakutkan untuk terjadinya dialog tidak langsung antara guru dan peserta didik. - Peranan guru yang kedua adalah mengembangkan pertanyaan yang bersifat “memaksa” peserta didik untuk menguraikan apa yang sebenarnya sedang mereka pelajari. Hendaknya guru benar-benar menghindarkan pertanyaan, seperti “Apakah ada pertanyaan?”. Guru hendaknya juga memberikan berbagai kesempatan kepada peserta didik untuk membuat kesimpulan/dan atau menjelaskan materi yang baru saja selesai dibahas. Peserta didik juga haruslah dikondisikan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat penetrasi. - Peranan ketiga dari guru adalah menggunakan alat/sarana visual untuk membantu peserta didik agar dapat “melihat” bagaimana informasi dapat dihubungkan dan mengajarkan kepada peserta didik cara-cara penggunaan sarana/alat visual. - Peranan keempat yaitu mendorong pembentukan kelompok-kelompok belajar dan memfungsikannya. Kelompok belajar dapat dibentuk dalam berbagai bentuk tergantung pada besarnya kelas, mata pelajaran, dan pendapat/pemikiran guru.
Dengan menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik, maka berikut ini diuraikan beberapa tambahan peranan yang baru bagi guru. - Peranan baru yang pertama bagi guru yang menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik adalah (1) memahami dan mengetahui secara jelas kearah mana peserta didik secara kognitif dikehendaki akan berkembang. Dalam hal ini, guru hendaknya mengetahui tingkat kemampuan berpikir yang dituntut untuk dikembangkan oleh peserta didik selama kegiatan pembelajaran berlangsung, (2) menggunakan analogi dan metafor, (3) mengembangkan mekanisme yang tidak berbahaya dan juga tidak menakutkan untuk terjadinya dialog tidak langsung antara guru dan peserta didik. - Peranan guru yang kedua adalah mengembangkan pertanyaan yang bersifat “memaksa” peserta didik untuk menguraikan apa yang sebenarnya sedang mereka pelajari. Hendaknya guru benar-benar menghindarkan pertanyaan, seperti “Apakah ada pertanyaan?”. Guru hendaknya juga memberikan berbagai kesempatan kepada peserta didik untuk membuat kesimpulan/dan atau menjelaskan materi yang baru saja selesai dibahas. Peserta didik juga haruslah dikondisikan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat penetrasi. - Peranan ketiga dari guru adalah menggunakan alat/sarana visual untuk membantu peserta didik agar dapat “melihat” bagaimana informasi dapat dihubungkan dan mengajarkan kepada peserta didik cara-cara penggunaan sarana/alat visual. - Peranan keempat yaitu mendorong pembentukan kelompok-kelompok belajar dan memfungsikannya. Kelompok belajar dapat dibentuk dalam berbagai bentuk tergantung pada besarnya kelas, mata pelajaran, dan pendapat/pemikiran guru.
Bagaimana Memanfaatkan Program Schoolnet?
Pendahuluan Jaringan pendidikan nasional (Jardiknas) terdiri dari empat zone, yakni zona kantor, zona perguruan tinggi, zona sekolah, dan zona perorangan. Zona sekolah disebut schoolnet. Schoolnet merupakan suatu sistem interkoneksi yang menghubungkan sekolah dalam satu jaringan. Dalam sistem ini satu sekolah dapat saling berhbungan dengan sekolah lainnya bertukar menukar informasi, saling memanfaatkan sumber belajar, berbagi keahlian (expertise share) dan mengembangkan pembelajaran non konvensional. Sistem jaringan schoolnet terdiri dari jaringan virtual privat network (VPN) dan internet. Dengan jaringan VPN sekolah dapat memiliki akses yang lebar (bradband) untuk saling berhubungan dengan sekolah lainnya ataupun dengan instansi kantor dinas secara lokal. Sedangkan dengan akses internet, sekolah dapat akses dan saling berhubungan dengan sumber-sumber informasi di mancanegara. Dalam Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2008 antara lain disebutkan bahwa Departemen Pendidikan Nasional harus menghubungkan sebanyak 24.000 dalam satu jaringan pendidikan nasional. Dari jumlah tersebut 15.000 titik adalah sekolah, yakni terdiri dari SMA/MA, SMK, SMP/MTs, dan SD/MI. Apabila interkoneksi ini terwujud, maka sekolah akan mendapatkan manfaat yang sangat besar. Namun manfaat ini tidak datang begitu saja kecuali bagi sekolah yang siap. Dana yang dikucurkan pemerintah untuk akses ini akan berarti bagi sekolah yang siap, namun akan mubazir bagi sekolah yang tidak siap mamanfaatkannya. Apa dan bagaimanakah kesiapan sekolah memanfaatkan jaringan schoolnet? Sekurang-kurangnya ada enam aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan program schoolnet, yakni infrstruktur, SDM, kebijakan, pengembangan instruksional, pengembangan konten, serta kesediaan berbagi (share) informasi dan telekolaborasi. Infrastruktur Dari sisi infrastruktur, yang diperlukan oleh sekolah untuk mendapatkan akses schoolnet antara lain sambungan listrik, perangkat komputer, dan sambungan telepon. Ketersediaan liistrik atau power merupakan kebutuhan dasar TIK. Tanpa adanya power, sampai saat ini, TK tidak dapat berfungsi. Sekolah diharapkan memiliki satu lab komputer. Idealnya lab ini merupakan lab multimedia atau pusat sumber belajar (PSB) yang terpisah dengan lab komputer yang khusus untuk pembelajaran TIK. Fungsi PSB atau lab multimedia ini antara lain tempat para siswa ataupun guru dapat mengakses sumber belajar melalui jaringan. Namun demikian, apabila tidak tersedia satu lab, sekolah cukup menyediakan beberapa komputer khusus untuk keperluan schoolnet. Sedangkan sambungan telepon perlukan sebagai pendukung komunikasi pengelolaan schoolnet. Kesiapan SDM Sumber daya manusia (SDM) merupakan komponen yang sangat penting dalam pemanfaatan schoolnet. Tanpa kesiapan SDM maka schoolnet tidak bermanfaat. SDM setidak tidaknya terdiri dari guru sebagai user schoolnet dan teknisi sebagai unsur penunjang. Sekolah yang baik, memiliki 70% atau lebih guru yang menguasai TIK. Namun bagi sekolah pemula dalam hal TIK, ada satu atau dua orang guru yang menguasai TIK cukuplah sebagai penggerak. Dukungan Kebijakan Kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan pada satuan sekolah berpengaruh sangat besar dalam hal pengembangan TIK di sekolah. Dukungan kebijakan pendayagunaan TIK secara nasional sesungguhnya sudah kuat, antara lain dengan adanya Keputusan Presiden nomor 20 tahun 2006 tentang Dewan TIK Nasional, Inpres no 5 tahun 2008 tentang jaringan pendidikan nasional, Permendiknas no 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan TIK Depdiknas, Block Grant TIK sekoah, dll. Namun demikian, implementasi kebijakan ini di sekolah perlu lebih kongkret lagi. Dukungan juga diperlukan dari orang tua murid melalui musyawarah gurudanorang tua murid (MGMP). Pada level sekolah, Kepala Sekolah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong terjadinya percepatan pendayagunaan TIK di sekolahnya, baik peningkiatan kualitas SDM, penyediaan ruangan, infrastruktur, inovasi dalam pembelajaran, dll. Pengembangan Sistem Instruksional Pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembelajar menandai terjadinya perubahan paradigma dalam pembelajaran. Perubahan ini antara lain dapat dilihat dari peran guru, pemanfaatan sumber belajar, persepsi tentang ruang kelas. Apabila pada masa masa lalu guru dianggap satu satunya sumber belajar sehingga seluruh aktivitas pembelajaran di sekolah terpusat pada guru, maka dengan adanya TIK, guru tidak lagi merupakan satu satunya sumber belajar. Banyak sumber belajar lain yang dapat diperoleh dari jaringan schoolnet. Pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, namun terdistribusi kepada setiap individu siswa. Dengan TIK setiap siswa dapat menyesuaikan kecepatan belajarnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam hal ini, peran utama guru adalah memberikan arahan atau guideline tentang kompetensi apa yang harus dikuasai oleh siswa, selanjutnya siswa dengan bimbingan guru dapat mencapai kompetensi tersebut sesuai kecepatan individu siswa masing-masing. Apakah TIK akan menggantikan peran guru? TIK sesungguhnya tidak akan menggantikan peran guru, namun membantu mempermudah dan meningkatkan kualitas proses belajar yang difasilitasi oleh guru. Dengan TIK, ruang kelas tidak lagi menjadi pembatas aktivitas belajar siswa. Siswa bisa belajar dengan menembus batas batas ruang. Melalui internet siswa dapat mengambail bahan belajar dari mana saja dan berdiskusi dengan siapa saja di seluruh pelosok dunia. Pembelajaran pun tidak harus di ruang kelas yang dibatasi empat dinding. Kemudahan kemudahan yang ditawarkan oleh program schoolnet, perlu disikapi dengan pengembangan inovasi kreatif dalam pengembangan instruksional. Pola-pola pembelajaran konvensional perlu direview kembali. Dengan TIK pembelajaran dapat lebih kaya, lebih bervariasi, dan lebih memotivasi. Fasilitas utama yang ditawarkan schoolnet adalah akses broadband LAN yang menghubungkan jaringan sekolah pada satu daerah kabupaten/kota. Ketersediaan akses ini dapat dimanfaatkan oleh sekolah atau tenaga kependidikan daerah kabupaten/kota untuk meempatkan konten pada server lokal, baik konten yang dikembangkan sendiri oleh daerah maupun konten yang telah tersedia. Pemanfaatan Konten Sejumlah konten yang telah disediakan oleh Departemen Pendidikan Nasional, antara lain portal pembelajaran e-dukasi.net yang dapat diakses pada alamat www.e-dukasi.net, siaran TV Edukasi, buku sekolah elektronik pada situs http://bse.depdiknas.go.id. Di samping itu terdapat juga konten berbasis video seperti video on demand (VOD) yang dapat di download melalui e-dukasi.net. Melalui akses Jardiknas, siswa juga dapat mengikuti bimbingan belajar on line pada situs www.bimbelonline.net. Pada situs ini siswa dapat mengikuti try out ujian nasional, tutorial, dan remedial yang diasuh oleh guru-guru yang kompeten. Dengan konten yang tersedia di atas diharapkan dapat membantu para guru dan siswa untuk memanfaatkan schoolnet dalam peningkatan kualitas proses pembelajaran. Lebih jauh, dharapkan pula para guru ataupun komunitas schoolnet dapat mengembangkan konten-konten lokal guna memperkaya sumber belajar. Share informasi dan telekolaborasi Dengan menjadi bagian dari jaringan schoolnet para guru, juga siswa, dapat saling bertukar informasi, bertukar sumber daya, serta saling bekerjasama secara secara jarak jauh atau bertelekolaborasi. Sejumlah model pemanfaatan jaringan ini telah dikembangkan pada portal e-dukasi.net, yakni antara lain forum diskusi, telekolaborasi, dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) on line. Telekolaborasi merupakan model kerjasama jarak jauh antar komunitas pendidikan yang telah diikuti oleh ribuan user. Dengan telekolaborasi para guru dari berbagai daerah yang berbeda dapat saling berkerjasama mengembangan suatu bahan belajar yang hasilnya dapat digunakan secara bersama-sama. Berbagai topik telah didiskusikan pada telekolaborasi. Selengkapnya silakan lihat e-dukasi.net. MGMP on line merupakan satu kebutuhan bagi para guru untuk saling berbagi informasi berkaitan dengan sejawatnya dalam mata pelajaran tertentu. MGMP yang selama ini telah berlangsung dengan baik di setiap daerah, akan lebih semarak dengan bantuan teknologi, sehingga diskusi MGMP tidak lagi terbatas oleh wilayah semata. Penutup Di samping untuk keperluan lalu lintas data administrasi, program schoolnet ditujukan untuk menunjang peningktan kualitas proses pembelajaran. Untuk itu, diperlukan kesiapan sekolah dalam rangka pemanfaatan program ini. Sejumlah aspek yang perlu disiapkan oleh sekolah yang sudah dibicarakan di atas, yaitu mencakup kesiapan infrastruktur, SDM, kebijakan sekolah, pengembangan instruksional, pengembangan konten, serta share informasi dan telekolaborasi. Untuk implementasi ini semua masih diperlukan kerja keras dan langkah-langkah kongkret pada level sekolah, khususnya para guru. Semoga sukses.